Minggu, 30 Mei 2010

leluhur banten

KEBUYUTAN BANTEN

1. PARABU DEWARATU PULO PANAITAN
2. PRABU LANGLANG BUANA GUNUNG LOR PULA SARI
3. PRABU MUDING KALANGON PUNCAK MANIK GUNUNG LOR PULASARI
4. PRABU SEDASAKTI TAJO POJOK
5. PRABU MANDITI GUNUNG KARANG
6. PRABU BANGKALENG CANGKANG
7. NYAIMAS RATU WIDARA PUTIH SERAM TENGAH LAUTAN
8. NYAIMAS DJONG
9. KYAI AGU DJU
10. INDRA KUMALA GUNUNG KARANG PEPITU PAKUAN
11. MANIK KUMALA SUNGAI CIUJUNG

LELUHUR BANTEN

PANEMBAHAN SABAKINGKING RATU DJAYA CHASANUDDIN BIN SYARIEF HIDAYATULLOH MACHDUM GUNUNG DJATI (CIREBON) Beristri dengan DEWI SITI FATIMAH binti RADEN CHASAN ABIL FATTACH SURYA ALAM ZAINIAL ABIDIN GELAGAH WANGI DEMAK MEMPUNYAI ANAK :

1. NYAIMAS RATU PEMBAYUN DIPANG UTARA BLORA
2. NYAIMAS RATU SARANENGAH JAMBI
3. NYAIMAS RATU KAMUDARAGI PALEMBANG
4. PANGERAN JUPRIE RATU JEPARA
5. PANGERAN PRINGGALAYA RATU BETAWI
6. PANGERAN PEJAJARAN RATU BOGOR
7. PANEMBAHAN PEKALONGAN MAULANA YUSUF RATU BANTEN

SULTHON MUCHAMMAD SABAKINGKING RATU BANTEN BERANAK CUCU :

1. SULTHON ABUL MUFAQIR ‘ABDUL QODIR KENARI
2. SULTHON ABUL MA’ANALI ACHMAD KENARI
3. SULTHON AGUNG ABUL FATEHI ABDUL FATTAH TIRTAYASA
4. SULTHON ABUNNASRI MAULANA MANSUR ABDUL QOHHAR CIKADUEUN
5. SULTHON ABUL FADLOLI
6. SULTHON ABUL MAHASIN MA’SUM
7. SULTHON ABDUL FATTAH MUHAMMAD SYIFA ZAINUL ‘ARIFIN
8. SULTHON SYARIFUDDIN RATU WAKIL MUHAMMAD WASI’
9. SULTHON ZAINUL ‘ASIKIN
10. SULTHON ABDUL MAFAQIR MUHAMMAD ALIYUDIN AWWAL
11. SULTHON ABDUL FATTAH MUHAMMAD MUHYIDIN ZAINUL SOLIHIN
12. SULTHON MUHAMMAD ISHAQ ZAINUL MUTTAQIN
13. SULTHON WAKIL PANGERAN NATAWIJAYA
14. SULTHON MUHAMMAD AKILLUDI TSANI
15. SULTHON WAKIL PANGERAN SURAMENGGALA
16. SULTHON MUHAMMAD SHOFIYUDIN
17. SULTHON MUHAMMAD ROFI-UDDA (DIASINGKAN DISURABAYA)

SEJARAH PERGURUAN PARAWALI TANAH BANTEN

1. SYEH MUHAMMAD SHOLEH GUNUNG SANTRI CILEGON
2. SYEH MUHAMMAD SHIHIB TAGAL PAPA MENGGER
3. SYEH ABDUL RO’UF PARAJAGATI CINGENGE
4. SYEH ABDUL GHANI MENES
5. SYEH MAHDI CARINGIN LABUAN
6. SYEH ABDURROHMAN ASNAWI CARINGIN LABUAN
7. SYEH WALI DAWUD CINGINDANG LABUAN
8. SYEH KIYAI MACHDUM ABDUL DJALIL KALIMAH BARRONI GUNUNG RAMA SUKOWATI LABUAN
9. SYEH CINDRAWULUNG GUNUNG SINDUR TANGERANG
10. SYEH HAJI KAISAN
11. SYEH HAJI SILAIMAN GUNUNG SINDUR
12. SYEH KANJENG KYAI DALEM MUSTOFA GUNUNG SINDUR
13. SYEH KYAI BAGUS ATIK SULAIMAN QHOLIQ SERPONG

makam kh.abdul fattah(mbah beji)

Terumbu, Banten

Silat Banten Aliran Terumbu
Oleh : Nasrudin Attijani
Kiyai Terumbu merupakan ulama besar Banten pada Abad 15 sebelum sultan Hasanudin menjadi sultan di Kerajaan Banten dan pada masa tersebut kerjaan Banten belum menjadi kerajaan islam dan beliau bermukim di suatu kampung, yang mempunyai 5 orang anak dan anak pertama bernama Abdul Fatah.
Menjelang usia dewasa Abdul Fatah pernah mempunyai istri dari manusia dan usianya tidak lama dan Abdul Fatah ingin mencari seorang istri lagi tetapi tidak ada yang mau di peristri oleh Abdul Fatah karena takut usianya tidak lama seperti istri sebelumnya dan Abdul Fatah mengembara dari satu kampung ke kampung lainnya tapi belum juga mendapatkan jodoh. Akhirnya beliaupun menghadap kepada Ki Terumbu untuk meminta saran agar cepat mendapatkan seorang istri. Ki terumbupun memberikan saran, agar menjadi seorang Aulia Allah harus menikah dengan bangsa jin islam. Dan untuk menemukan jin islam perempuan pun tidak mudah untuk menemukanknya dan untuk menemukannya Ki Terumbu menyarankan untuk membuat suatu sumur pemandian di suatu kampung yang terdapat alasnya ( hutan ) yang tidak jamah oleh manusia apabila sumur tersebut digunakan mandi oleh jin perempuan islam, maka Abdul Fatah harus mengambil salah satu pakaian jin tersebut .
Beliaupun menjalankan saran Ki Terumbu untuk membuat suatu sumur pemandian pertama di kampung kasemen, tapi setelah beberapa waktu dilihat ternyata belum ada tanda – tanda adanya jin tersebut, Abdul Fatahpun membuat lagi sumur pemandian di kampung pontang sekarang tirtayasa tetapi belum juga berhasil. Dan akhirnya beliau meminta saran Ki Terumbu lagi dan Ki Terumbu menyarankan agar membuat sumur yang bernama sumur pulauan di kampung yang ditempati oleh ki terumbu kp. Padadaran ( sekarang kp. Terumbu ), setelah dibuat selang 3 hari akhirnya Abdul fatah menemukan tanda – tanda bahwa sumur pemandian yang di buatnya terlihat keruh pada malam hari dan keesokan harinya beliau mengintip sumur tersebut dan menemukan tiga jin perempuan sedang mandi pada sumur pemandian tersebut. Dan beliaupun mengambil salah satu baju jin perempuan tersebut, tetapi kedua jin yang lainnya langsung mengetahui dan langsung mengambil pakaiannya dan menghilang sedangkan jin perempuan yang satunya lagi masih ada di sumur pemandian tersebut tidak bisa menghilang karena pakaiannya dipegang oleh Abdul fatah dan di sembunyikan di lumbung pari agar tidak ditemukan oleh jin tersebut.
Dan Abdul Fatahpun langsung memberikan pakaian manusia untuk di kenakan oleh jin perempuan tersebut. Jin tersebut langsung dibawanya kerumah Ki Terumbu untuk langsung dinikahkan dengan wali hakim. Dan dinikahkan oleh ki terumbu dan ki terumbu memberi pesan bahwa kedua mempelai bisa hidup normal seperti manusia biasa dengan catatan jangan sampai istri Abdul Fatah mengenakan baju jinnya kembali, apabila mengenakannya akan langsung hilang. Dan Abdul Fatah pun mengikuti nasehat Ki Terumbu.

Hasil pernikahan ki beji dengan jin perempuan tersebut dikaruniai 3 orang anak diantaranya : anak pertama bernama Tanjung anom, anak kedua. bernama Kudup melati, anak ketiga bernama Dewi Rasa. Pada waktu syarif Hidayatullah akan rapat dewan walisongo membawa anaknya sultan hasanudin ( sebelum menjadi raja Kesultanan Banten ) kepada Ki Beji untuk dititipkan sementara syarif Hidayatullah Rapat dengan Walisongo di Demak beserta KH. Abdul Fatah ( Ki Beji).

Perjalanan menuju Demak memakan waktu 3 hari 3 malam untuk sampai lokasi Mesjid Demak dan pulangnya memakan waktu 3 hari 3 malam. Pada waktu perjalanan menuju Demak ada beberapa kejadian penting diantaranya :

1. Pada hari pertama perjalanan Ki Beji menemukan burung dara mati didepannya dan Ki Beji pun menangisi Burung dara tersebut dan berkata : ” andai saja ya Allah burung ini hidup dapat berguna bagi anak dan keluarganya”, dan seketika itupun Allah mengabulkan permintaan Ki Beji. Burung dara itupun langsung hidup dan berkata kepada Ki Beji : “ jika Ki Beji butuh pertolongan maka saya akan membantu Ki Beji dengan cara injak bumi 3 kali “ . dan Ki Beji pun mengiyakan permintaan Burung itu, dan burung tersebut langsung menghilang.
2. Pada hari kedua perjalanan Ki Beji menemukan belut putih mati didepannya dan Ki Beji pun menangisi belut putih tersebut dan berkata : ” andai saja ya Allah belut putih ini hidup dapat berguna bagi anak dan keluarganya”, dan seketika itupun Allah mengabulkan permintaan Ki Beji. belut putih itupun langsung hidup dan berkata kepada Ki Beji : “ jika Ki Beji butuh pertolongan maka saya akan membantu Ki Beji dengan cara injak bumi 3 kali “ . dan Ki Beji pun mengiyakan permintaan belut putih itu, dan belut putih tersebut langsung menghilang.
3. Pada hari kedua perjalanan Ki Beji menemukan lalat besar mati didepannya dan Ki Beji pun menangisi lalat besar tersebut dan berkata : ” andai saja ya Allah lalat besar ini hidup dapat berguna bagi anak dan keluarganya”, dan seketika itupun Allah mengabulkan permintaan Ki Beji. lalat besar itupun langsung hidup dan berkata kepada Ki Beji : “ jika Ki Beji butuh pertolongan maka saya akan membantu Ki Beji dengan cara injak bumi 3 kali “ . dan Ki Beji pun mengiyakan permintaan lalat besar itu, dan lalat besar tersebut langsung menghilang.
4. Pada malam terakhir perjalanan pulang menuju Kp. Terumbu Banten, Ki Beji menemukan Burung Garuda mati didepannya dan Ki Beji pun menangisi Garuda mati tersebut dan berkata : ” andai saja ya Allah Garuda mati ini hidup dapat berguna bagi anak dan keluarganya”, dan seketika itupun Allah mengabulkan permintaan Ki Beji. Burung Garuda itupun langsung hidup dan berkata kepada Ki Beji : “ jika Ki Beji butuh pertolongan maka saya akan membantu Ki Beji dengan cara injak bumi 3 kali “ . dan Ki Beji pun mengiyakan permintaan Garuda itu, dan Garuda tersebut langsung menghilang.

Sesampainya Ki Beji di rumahnya, beliau kaget karena mencari – cari istrinya tidak ada di rumah, dan Ki Beji langsung kerumahnya Kiyai Terumbu menanyakan keberadaan istrinya yang hilang. Ki terumbu mengingatkan kepada Ki Beji sebelum berangkat, agar kunci gudang ( lumbung ) tempat menyimpan baju jin istrinya agar tidak diberikan kepada istrinya Ki Beji, Ki besus ( penjaga rumah Ki Beji ) yang di amanati Ki Beji agar menjaga kunci tersebut tidak di berikan kepada siapapun termasuk istrinya. Ternyata ki besus hilaf akan tugasnya ketika itu ki besus tertidur ketika menjaga rumah dan tanpa disadari istri Ki Beji mencurinya dan langsung menghilang. Ki Beji seharusnya tahu isyarat pada waktu perjalanan pulang menemukan Burung garuda mati tersebut bisa membawa Ki Beji ke negeri Jin menurut Ki terumbu. Maka seketika itu Ki Beji langsung memanggil Garuda itu dan langsung datang, dan langsung membawa Ki Beji ke negeri jin tempat istrinya tinggal.

Sampailah Ki Beji ke negeri Jin dengan Garuda, di pintu gerbang Ki Beji menemukan penjaga negeri jin dan melarang manusia memasuki negerinya, tapi Ki Beji bersikeras akan membawa pulang ke dunia istrinya. Penjaga itupun mempersilahkan Ki Beji membawa istrinya dengan beberapa syarat :

1. Ki Beji dikasih keranjang untuk mengangsu air ke negeri jin. Dalam pikirannya beliau berpikir bagaimana mengangsu air dengan keranjang sedangkan keranjang itu bolong – bolong, dan beliaupun teringat pada belut putih yang hidup di air. Dan dengan bantuan belut putih itu Ki beji dapat mengangsu air dengan cara keranjang tersebut di lilit dengan tubuh belut putih tersebut.
2. Ki beji di suruh membawa kacang ijo sekarung dibuang oleh penjaga negeri jin ke dunia agar membawanya kembali utuh menjadi satu karung kembali. Dan Ki beji meminta bantuan kepada burung dara untuk memakan semua kacang yang bercecer dan memasukkan kembali ke karung untuk di bawa ke negeri jin
3. Ki Beji disuruh mencari istrinya berada sedangkan istana jin itu beratus lantai dan harus tahu dimana lokasi tampat istrinya berada. Ki Beji pun meminta bantuan kepada burung dara agar mencarikan lokasi dimana istrinya berada dan waktu itu burung dara itu langsung laporan ke Ki Beji bahwa sudah menemukan istrinya berada.
4. Setelah ketemu dimana istrinya berada, sekarang Ki Beji harus menemukan dimana istrinya sedangkan bangsa jin perempuan wajahnya sama mencapai ribuan. Ki Beji meminta bantuan lalat besar agar ditemukan keberadaan istrinya. Ki Bji menyuruh lalat tersebut menghinggapi wajah muka istrinya dan tebakan Ki Beji itu benar. Jin perempuan itu di Tanya oleh penjaga negeri jin, “ benar kamu sudah menikah dengan Ki Beji bangsa manusia?” dan jin tersebut mengiyakan perkataan Ki Beji maka di bawalah istrinya kembali ke kp. Terumbu dan menjalani hidup normal seperti manusia hingga mempunyai 3 orang anak ( Tanjung Anom, Kudup Melati, Dewi Rasa )

Julukan Ki beji karena beliau berhati besi atau beji yang membangkang pada kompeni dan tidak mau diusir oleh penjajah kompeni ( Belanda ) dari tanah kampung terumbu Banten. Masyarakat dan keturunan Ki Terumbu diajari ilmu silat dari anak – anak hingga dewasa untuk melawan penjajahan belanda hingga sekarang silat ini turun temurun masih terjaga kelestariannya di kampung terumbu, Kasemen serang. Pada keturunan ke 4 atau cicit dari H. Agus (anak ke 4 dari Ki Zunedil Qubro bin Ki Terumbu ) yaitu H. Mad sidiq mewarisi ilmu silat Bandrong dan mempunyai istri di pulo ampel bojonegara – Serang serta mengembangkannya aliran silat ini ke daerah cilegon dan sekitarnya untuk melawan penjajahan belanda dan jepang sedangkan M. Idris mewarisi ilmu silat terumbu dan beliau bermukim di kampung terumbu dalam pengembangannya aliran silat ini berkembang di daerah serang dan sekitarnya untuk melawan penjajahan belanda dan jepang.

Mukjizat / Kesaktian Keturunan Terumbu

Nyi jong mempunyai kesaktian sebuah kerudung, apabila di simpan di pohon maka akan ada lautan darah di tempat tersebut, karena pada waktu kompeni akan menyerbu kampong terumbu, beliau mengikatkan kerudungnya pada sebuah pohon dan kampung terumbu pun menjadi lautan darah dan pasukan kompenipun terkecoh oleh kekuatan dan kesaktian nyi jong dengan kerudungnya dan merekapun meninggalkan kampung terumbu.
Nyi Audah mempunyai umur yang panjang hingga 300 tahun.
H. Buang mempuyai kesaktian dapat mengalahkan macan siluman yang ada di benteng Jakarta sekarang menjadi lapangan benteng. Pada zaman VOC / kompeni menduduki sunda kelapa, setiap pasukannya melewati lapangan benteng selalu mati diterkam oleh macan siluman. Kompeni pun mengadakan sayembara hadiah kepada siapa saja yang yang dapat mengalahkan macan siluman itu akan dihadiahi tanah seluas 1 hektar, waktu itu H. Buang datang ke kompeni memakai dan membawa dagangan kacang pikulan. Kompeni tidak percaya akan penampilan pada H. Buang karena pakaianya sederhana tidak kelihatan seperti jawara, akhirnya H. Buangpun di terima untuk membunuh macan siluman yang ada di benteng, tak lama kemudian H. Buang dapat mengalahkan macan siluman itu dengan mudah. Setelah itu pasukan kompeni dapat melewati daerah benteng dengan aman dan menghadiahi beliau tanah yang dijanjikan.

Makam Karuhun Urang Sunda

Para Karuhun Urang Sunda yang kini hanya tinggal namanya yang kita kenang, bagi siapa saja yang suka ziarah ke makam para karuhun, disini saya berposting makam-makam para karuhun yang patut di ziarahi karena. Di bawah ini beberapa makam para karuhun-karuhun atau leluhur orang sunda :

* Pangeran Jayakarta (Rawamangun Jakarta)
* Eyang Prabu Kencana (Gunung Gede, Bogor )
* Syekh Jaenudin (Bantar Kalong)
* Syekh maulana Yusuf (Banten)
* Syekh hasanudin (Banten)
* Syekh Mansyur (Banten)
* Aki dan Nini Kair (Gang Karet Bogor)
* Eyang Dalem Darpa Nangga Asta (Tasikmalaya)
* Eyang Dalem Yuda Negara (Pamijahan Tasikmalaya)
* Prabu Naga Percona (Gunung Wangun Malangbong Garut)
* Raden Karta Singa (Bunarungkuo Gn Singkup Garut)
* Embah Braja Sakti (Cimuncang, Lewo Garut)
* Embah Wali Tangka Kusumah (Sempil, Limbangan garut)
* Prabu Sada Keling (Cibatu Garut)
* Prabu Siliwangi (Santjang 4 Ratu Padjadjaran
* Embah Liud (Bunarungkup, Cibatu Garut)
* Prabu Kian Santang (Godog Suci, garut)
* Embah Braja Mukti (Cimuncang, Lewo Garut)
* Embah Raden Djaenuloh (Saradan, Jawa Tengah)
* Kanjeng Syekh Abdul Muhyi (Pamijahan Tasikmalaya)
* Eyang Siti Fatimah (Cibiuk, Leuwigoong Garut)
* Embah Bangkerong (Gunung Karantjang)
* Eyang Tjakra Dewa (Situ Lengkong, Pandjalu Ciamis)
* Eyang Prabu Tadji Malela (Gunung Batara Guru)
* Prabu Langlang Buana (Padjagalan, Gunung Galunggung
* Eyang Hariang Kuning (Situ Lengkong Pandjalu Ciamis)Embah Dalem Salinggih (Cicadas, Limbangan Garut)
* Embah Wijaya Kusumah (Gunung Tumpeng Pelabuhan Ratu)
* Embah Sakti Barang (Sukaratu)
* Syekh Abdul Rojak Sahuna (Ujung Kulon Banten)
* Prabu Tjanar (Gunung Galunggung)
* Sigit Brodjojo (Pantai Indramayu)
* Embah Giwangkara (Djayabaya Ciamis)
* Embah Haji Puntjak (Gunung Galunggung)
* Dewi Tumetep (Gunung Pusaka Padang , Ciamis)
* Eyang Konang Hapa (Dayeuh Luhur, Sumedang)
* Embah Terong Peot (dayeuh Luhur, Sumedang)
* Embah Sayang Hawu (Dayeuh Luhur, Sumedang)
* Embah Djaya Perkasa (Dayeuh Luhur, Sumedang)
* Prabu Geusan Ulun (Dayeuh Luhur, Sumedang)
* Nyi Mas Ratu harisbaya (Dayeuh Luhur, Sumedang)
* Eyang Anggakusumahdilaga (Gunung Pusaka Padang Ciamis)
* Eyang Pandita Ratu Galuh Andjarsukaresi (Nangerang)
* Embah Buyut Hasyim (Tjibeo Suku Rawayan, Banten)
* Eyang mangkudjampana (Gunung Tjakrabuana, Malangbong Garut)
* Embah Purbawisesa (Tjigorowong, Tasikmalaya)
* Embah Kalidjaga Tedjakalana (Tjigorowong, Tasikmalaya)
* Embah Kihiang Bogor (Babakan Nyampai, Bogor )
* Aki Wibawa (Tjisepan, Tasikmalaya)
* Embah wali Mansyur (Tomo, Sumedang)
* Prabu Nagara Seah (Mesjid Agung Tasikmalaya)
* Sunan Rumenggang (Gunung Batara Guru)
* Embah Hadji Djaenudin (Gunung Tjikursi)
* Eyang Dahian bin Saerah (Gunung ringgeung, garut)
* Embah Giwangkarawang (Limbangan Garut)
* Nyi Mas Layangsari (Gunung Galunggung)
* Eyang Sunan Cipancar (Limbangan garut)
* Eyang Angkasa (Gunung Kendang, Pangalengan)
* Embah Kusumah (Gunung Kendang, Pangalengan)
* Eyang Puspa Ligar (Situ Lengkong, Panjalu Ciamis)
* Kimandjang (Kalapa 3, Basisir Kidul)
* Eyang Andjana Suryaningrat (Gunung Puntang Garut)
* Gagak Lumayung (Limbangan Garut)
* Sri Wulan (Batu Hiu, Pangandaran Ciamis)
* Eyang Kasepuhan (Talaga Sanghiang, Gunung Ciremai)
* Aki manggala (Gunung Bentang, Galunggung)
* Ki Adjar Santjang Padjadjaran (Gunung Bentang, Galunggung)
* Eyang Mandrakuaumah (Gunung Gelap Pameungpeuk, Garut)
* Embah Hadji Muhammad Pakis (Banten)
* Eyang Boros Anom (Situ Lengkong, Pandjalu Ciamis)
* Embah Raden Singakarta (Nangtung, Sumedang)
* Raden Rangga Aliamuta (Kamayangan, Lewo-Garut)
* Embah Dalem Kasep (Limbangan Garut)
* Eyang Imam Sulaeman (Gunung Gede, Tarogong)
* Embah Djaksa (Tadjursela, Wanaraja)
* Embah Wali Kiai Hadji Djafar Sidik (Tjibiuk, Garut)
* Eyang Hemarulloh (Situ Lengkong Pandjalu)
* Embah Dalem (Wewengkon, Tjibubut Sumedang
* Embah Bugis (Kontrak, Tjibubut Sumedang)
* Embah Sulton Malikul Akbar (Gunung Ringgeung Garut)
* Embah Dalem Kaum (Mesjid Limbangan Garut)
* Mamah Sepuh (Pesantrean Suralaya
* Mamah Kiai hadji Yusuf Todjiri (Wanaradja)
* Uyut demang (Tjikoneng Ciamis)
* Regregdjaya (Ragapulus)
* Kiai Layang Sari (Rantjaelat Kawali Ciamis)
* Embah Mangun Djaya (Kali Serayu, Banjarnrgara)
* Embah Panggung (Kamodjing)
* Embah Pangdjarahan (Kamodjing)
* Syekh Sukri (Pamukiran, Lewo Garut)
* Embah Dipamanggakusumah (Munjul, Cibubur)
* Aki Mandjana (Samodja, Kamayangan)
* Eyang Raksa Baya (Samodja, Kamayangan)
* Embah Dugal (Tjimunctjang (
* Embah Dalem Dardja (Tjikopo)
* Embah Djaengranggadisastra (Tjikopo)
* Nyi Mas Larasati (Tjikopo)
* Embah Dalem Warukut (Mundjul, Cibubur)
* Embah Djaya Sumanding (Sanding)
* Embah Mansur Wiranatakusumah (Sanding)
* Embah Djaga Alam (Tjileunyi)
* Sembah Dalaem Pangudaran (Tjikantjung Majalaya)
* Sembah Dalem Mataram (Tjipantjing)
* Eyang Nulinggih (Karamat Tjibesi, Subang)
* Embah Buyut Putih (Gunung Pangtapaan, Bukit Tunggul)
* Embah Ranggawangsa (Sukamerang, bandrek)
* Eyang Yaman (Tjikawedukan, Gunung Ringgeung Garut)
* Embah Gurangkentjana(Tjikawedukan, Gunung Ringgeung Garut)
* Embah Gadjah Putih (Tjikawedukan Gunung wangun)
* Ratu Siawu-awu (Gunung Gelap, pameungpeuk Sumedang)
* Embah Mangkunegara ( Cirebon )
* Embah Landros (Tjibiru Bandung)
* Eyang latif (Tjibiru Bandung)
* Eyang Penghulu (Tjibiru Bandung)
* Nyi Mas Entang Bandung (Tjibiru Bandung)
* Eyang Kilat (Tjibiru Bandung)
* Mamah Hadji Umar (Tjibiru Bandung)
* Mamah Hadji Soleh (Tjibiru Bandung)
* Mamah Hadji Ibrahim (Tjibiru Bandung)
* Uyut Sawi (Tjibiru Bandung)
* Darya binSalmasih (Tjibiru Bandung)
* Mmah Hadji Sapei (Tjibiru Bandung)
* Embah Hadji Sagara Mukti (Susunan Gunung Ringgeung)
* Eyang Istri (Susunan Gunung Ringgeung)
* Eyang Dewi Pangreyep (Gunung Pusaka Padang Garut)
* Ratu Ayu Sangmenapa (Galuh)
* Eyang Guru Adji panumbang (Tjilimus Gunung Sawal)
* Eyang Kusumah Adidinata (Tjilimus Gunung Sawal)
* Eyang Rengganis (Pangandaran Ciamis)
* Ki Nurba’in (Sayuran, Gunung Tjikursi)
* Buyut Dasi (Torowek Tjiawi)
* Embah Buyut Pelet (Djati Tudjuh Kadipaten)
* Embah Gabug (Marongge)
* Eyang Djayalaksana (Samodja)
* Nyi Mas Rundaykasih (Samodja)
* Nyi Mas Rambutkasih (Samodja)
* Eyang Sanghiang Bongbangkentjana (Ujung Sriwinangun)
* Eyang Adipati Wastukentjana (Situ Pandjalu Ciamis)
* Eyang Nila Kentjana (Situ Pandjalu, Ciamis)
* Eyang Hariangkentjana (Situ Pandjalu Ciamis)
* Embah Dalem Tjikundul (Mande Cianjur)
* Embah Dalem Suryakentjana (PantjanitiCianjur)
* Embah Keureu (Kutamaneuh Sukabumi)
* Ibu Mayang Sari (Nangerang Bandrek Garut)
* Eyang Prabu Widjayakusumah (Susunan Payung Bandrek Garut)
* Embah Sayid Kosim (Gunung Alung Rantjapaku)
* Embah Bang Sawita (Gunung Pabeasan Limbangan Garut)
* Uyut Manang Sanghiang (Banten)
* Eyang Ontjar (Nyampai Gunung Bungrangrang)
* Eyang Ranggalawe (Talaga Cirebon)
* Ibu Siti Hadji Djubaedah (Gunung Tjupu Banjar Ciamis)
* Mamah Sepuh ((Gunung Halu Tjililin Bandung )
* Embah Sangkan Hurip (Ciamis)
* Embah Wali Abdullah (Tjibalong Tasikmalaya)
* Mamah Abu (Pamidjahan Tasikmalaya)
* Embah Dalem Panungtung Hadji Putih Tunggang Larang Curug Emas (Tjadas Ngampar Sumedang)
* Raden AstuManggala (Djemah Sumedang)
* Embah Santiung (ujung Kulon Banten)
* Eyang Pandita (Nyalindung Sumedang)
* Embah Durdjana (Sumedang)
* Prabu Sampak Wadja (Gunung Galunggung Tasikmalaya)
* Nyi Mas Siti Rohimah/Ratu Liongtin (Jambi Sumatera)
* Eyang Parana (Kulur Tjipatujah, Tasikmalaya)
* Eyang Singa Watjana (Kulur Tjipatujah, Tasikmalaya)
* Eyang Santon (Kulur Tjipatujah, tasikmalaya)
* Eyang Entjim (Kulur Tjipatujah, Tasikmalaya)
* Eyang Dempul Wulung (Djaga Baya Ciamis)
* Eyang Dempul Walang (Djaga Baya Ciamis)
* Eyang Giwangkara (Djaga Baya Ciamis)
* Embah Wali Hasan (Tjikarang Bandrek, Lewo Garut)
* Embah Raden Widjaya Kusumah (Tjiawi Sumedang)
* Dalem Surya Atmaja (Sumedang)
* Eyang Rangga Wiranata (Sumedang)
* Eyang Mundinglaya Dikusumah (sangkan Djaya, Sumedang)
* Eyang Hadji Tjampaka (Tjikandang, Tjadas Ngampar Sumedang)
* Eyang Pangtjalikan (Gunung Ringgeung Garut)
* Eyang Singa Perbangsa (Karawang)
* Embah Djaga Laut (Pangandaran)
* Raden Ula-ula Djaya (Gunung Ringgeung Garut)
* Raden Balung Tunggal (Sangkan Djaya, Sumedang)
* sembah dalem wirasuta (Majalaya )
* Embah Raja Peduni (majalaya)
* Eyang santoan Qobul (Banjaran, bandung)
* Pangeran qudratulloh di gunung cabe / g. sunda pelabuhan ratu
* Prabu ciung wanara di belakang SMU 7 Bogor komplek Bantar jati
* Raden mbah jangkung kp. cilumayan – sisi cibereno , bayah – banten

Leluhur-leluhur dari pihak wanita. Yang ada di situs Medang Kamulan Ciamis dan Situs Medang Kamulan di Gunung Padang Cianjur

1. Ibu Sakti Pertiwi Gilang Gumilang Herang
2. Ibu Ratu Siti Dewi Hasta
3. Ibu Ratu Siti Dewi Banjaransari
4. Ibu Ratu Siti Dewi Pohaci
5. Ibu Ratu Siti Dewi Ratna Nastuna Larang Lancang Kamurang Galuh Pakuwon
6. Ibu Ratu Siti Dewi Cakrawati
7. Ibu Ratu Siti Dewi Sekar Jagat
8. Ibu Ratu Siti Dewi Niti Suari Sunan Ambu
9. Ibu Sakti Pertiwi Dewi Poerbasari
10. Ibu Ratu Siti Dewi Cempo Kemuning
11. Ibu Ratu Siti Dewi Ayu Jendrat
12. Eyang Sepuh Tunggal Dewa Sinuhun Rama Agung
13. Eyang Sepuh Prabu Manikmaya
14. Eyang Sepuh Prabu Ismaya
15. Syech Sulton Jannawiyah
16. Sri Baduga Maharaja Prabu Wangi (Lingga Buana) – Kakek dr Sri Baduga Maharaja Siliwangi
17. Sri Prabu Dewa Naskala Ningrat Kencana (Ayahanda dr Prabu Siliwangi)
18. Hyang Makukuhun Wali Haji Sakti Galuh Pakuwon.

Sabtu, 29 Mei 2010

sahadat buhun

ahadat Buhun
Dalam uraian Jangjawokan sebagaimana yang ditulis terdahulu diuraikan, bahwa dalam sastra sunda lisan jangjawokan atau ajimantra ditemukan pula ada yang menyebut-nyebut nama Allah, sebagaimana dibawah ini. Sehingga menurut Wahyu Wibisana menimbulkan pertanyaan. Apakah ajimantra semacam ini dapat dikatagorikan dalam do’a ?.

Tentunya kita jangan terburu-buru memvonis untuk menyimpulkan ajimantra atau jangjawokan sebagai suatu laku yang tidak bisa dikatagorikan doa, hanya karena diasumsikan :”tidak ditujukan kepada Tuhan, melainkan diperintahkan kepada yang gaib, dalam katagori makhluk, bukan yang maha Gaib (Tuhan)”. Saya pikir paradigma inipun masih menggelitikan untuk diperdebatkan.

Pertama, jika jangjawokan banyak digunakan masyarakat Sunda Buhun, alangkah lebih bijaksananya jika dilakukan pendekatan melalui paradigma tentang sejarah diri, terutama yang menyangkut unsur raga wadag ; batin ; serta ingsun sebagai drive raga dan bathin. Kedua, pengkatagorian dan pemilahan jangjawokan dengan do’a tidak bisa hanya karena adanya unsur kata-kata yang lajim digunakan oleh urang sunda berikutnya. Unsur kata tersebut timbul sebagai negasi, atau pemantapan agar apa yang dilakukannya dapat dikabulkan oleh yang maha mengabulkan. Pemilahan bisa mungkin terjadi jika jangjawokan dikatagorikan sebagai bentuk puisi arkais, sedang do’a bukan.

Kemudian, jika hanya karena tidak menggunakan unsur kata tadi tidak dapat dikatagorikan sebagai do’a, maka bisa saja ditafsirkan, bahwa urang sunda buhun tidak pernah berdo’a. Mengingat pada pra islam masyarakat di tatar Sunda tentunya tidak menggunakan kata Allah, bahkan sampai saat ini masih banyak urang sunda yang menyebut Allah dengan kata Gusti Nu Maha Suci ; Gusti Nu Maha Rokhman ; Hyang Widi ; Nu Murbeng sakabeh Alam. Dalam paradigmana itu adalah nama-nama Allah (khaliq), bukan makhluk. Selanjutnya mungkin juga dapat diperbanding-bandingkan tentang cita-cita urang sunda buhun, : “yakni manggihkeun hyang tanpa balik ka dewa” – bertemu dengan Hyang bukan Dewa.

Mungkin yang perlu diteliti lebih jauh adalah penggunaannya. Jangjawokan oleh masyarakat Sunda Buhun atau para penganut yang sampai saat ini masih ada. Jika saja dilakukan oleh urang sunda yang tidak menganut ageman buhun, itupun tidak harus pula disebutkan sebagai suatu penyimpangan. Bukankah do’a dapat dipanjatkan dengan bahas apa saja, atau lebih tepatnya, do’a bagi manusia dapat dipanjatkan sesuai dengan yang dimengertinya, atau bahasa hatinya. Ditujukan kapada Tuhan yang maha mengabulkan (Kecuali bagi ummat Islam tentunya hanya shalat yang memang harus menggunakan bahasa aslinya).

Mudah mudahan tulisan ini ada yang membahas, sehingga dikelak kemudian hari dapat terungkap budaya dan spiritualitasnya secara utuh. Selamat membaca.


pun,
Rakean.

===

Sadat Islam
Sadat islam aya dua,
Ngisalmkeun badan kalawan nyawa,
Dat hurip tanggal iman,
Ngimankeun badan sakujur,
Hudang subuh banyu wulu
Parentah kanjeng Gusti,
Nabi Adam pangnyampurnakeun badan awaking.
Sir suci,
Sir Adam,
Sir Muhammad,
Muhammad jala lalana
Nu aya di saluhuring alam.

Sahadat Sunda
Ashadu sahadat Sunda
Sapapada jeung pandita
Neang indung nu kabduhu
Neang Bapa Hidayyatullah
Nu mayungan sajagat,
Neangan Pangeran Kudratullah
Laillahhailloh Muhammad Rasullah

Sahadat Jawa
Apa pengot surat Raden Angga Keling
Pangeran Angga Warulang
Ratu suluk ajitullah
Pengaersa sa Nusa Jawa
Puputrane Ulis Akin
Kajayak ngarurug Pajajaran
Tanggal ping opat welas
Nukila di kalimati sahadati
Isun weruh umat Allah dikang Selam

Sahadat Bawa
Ashadu Sahadat Bawa,
Iman jati lulungguhan pulo nyawa,
Roh nyawa intening hurip,
Hurip ieu keuna ku gingsir
Langgeng teu keuna ku owah,
Lailahileloh Muhamad Rasulullah

Sahadat Taraju
Ashadu sahadat taraju
Idin imatan warohmatan
Walidatan, wasiratan,
Titikaptan minha yah u
Ya Allah, ya Rasulullah.

Sahadat Sayang
Ashadu sahadat sayang,
Kuriling ka bale suci
Cat mancet ka jagat mulya,
Tetesen ditetes ku Allah
Ya hu, ya Allah, ya Rasulullah

Sahadat sari
Ashadu sahadat sari,
Gegedah wadah humenggang,
Ngebur-ngebur lain ratu,
Ngebyar-ngebar cahyaning pangeran,
Payung tilu nungku-nungku,
Payung emas lingga jati,
Kakayon sabar darana,
Teteras sekar cendana.

Sahadat Adam
Ashadu Sahadat Adam,
Sah Adam,
Ashadu nur putih alip tunggal,
Iman eling ka mulya kang kadim,
Lailahailaleloh Muhammad Rasululah.

Sahadat Barjah
Ashadu sahadat barjah,
Enggon Allah sapatemon,
Sang Mutiara Putih calik di iman,
Patala artu miski aja ningratullah,
Titpan gedong kencana,
Nama Allah Rasulullah,
Lailaha ilaloh.

Sahadat Hayun
Asahadu sahadat hayun,
Hayun-hayun hurip kang hurip,
Cicipta Gusti Kang waras,
Cicipta Allah cipta rosa kang kawasa,
Ceg badan wujuding Allah Rasulullah
Nanya badan, ceg badan wujuding manusa.

Sahadat Siluman
Heuah balung nangtung tulang
Tulang muntang. Colok rasa ku buana,
Deg kimili rasa,
Aing nyaho ratu sia,
Anak sia ratu Siti,
Ambu sia ratu neluh ti Galunggung,
Bapa sia pangulu jin.

Sahadat Mustakarayunan
Asahadu mustakarayunan
Sahadat permana tunggal,
Selam lahir, selam bathin,
Selam pinarengin kersa,
Sing waspada kanu ngayuga bumi alam
Aya nu saurang, aya nu sorangan,
Aing waspada kepada Allah,
Allah waspada ka kaula.
Tenget gemereng-ereng,
Raraga gemet ruhiat,
Terusning Allah terusning rasa
Pani-pani langgeng tetep,
Langgeng agama Islam.

Sahadat Ganda
Ashadu ganda ingsun,
Turun saking sawarega,
Ningal ganda ningsunan sampurna,
Ganda ningsunan handiri,
Kamar langit karaton.


Mangga urang korehan deui(***)





Sumber Sahadat :

SASTRA LAGU : Mencarari Larak dan Lirik, Wahyu Wibasana, Dalam Lima Abad Sastra Sunda, Geger Sunten, 2000.

Ajimantra atawa Jangjawokan

Seureuh seuri
Pinang nanggeng
Apuna galugaet angen
Gambirna pamuket angen
Bakona galuge sari
Coh nyay, parupat nyay, loeko lenyay
Cucunduking aing taruk harendong
Cucunduking aing taruk paku hurang
Keuna asihan awaking
Asihan si leuget teureup


Kalimat diatas merupakan jangjawokan yang biasa digunakan urang sunda buhun ketika hendak nyepah (nyeupah), digerenteskeun atau di ucapkan dalam hati. Jangjawokan digunakan pada setiap kali kegiatan, bahkan menjadi tertib hidup. Misalnya untuk bergaul, bekerja sehari-hari, dan berdoa. Laku demikian dimungkinkan karena faktor masyarakat Sunda yang agraris selalu menjaga harmonisasi dengan alam. Konon pula seluruh nu kumelendang dialam dunya dianggap memiliki jiwa.

Tertib dan krama hidup misalnya berhubungan dengan padi (beras). Ada jangjawokan yang digunakan sejak menanam bibit, ngaseuk, tandur, panen, nyiuk beas, nyangu, mawa beas ticai, ngisikan, seperti salah satu contoh dibawah ini :

* Jampe Nyimpen Beas

* Mangga Nyi Pohaci
* Nyimas Alame Nyimas Mulang
* Geura ngalih ka gedong manik ratna inten
* Abdi ngiringan
* Ashadu sahadat panata, panetep gama
* Iku kang jumeneng lohelapi
* Kang ana teleking ati
* Kang ana lojering Allah
* Kang ana madep maring Allah
* Iku wuju salamaet ing dunya
* Salamet ing akherat
* Asahadu anla ila haileloh
* Wa ashadu anna Muhammaddarrasolullah
* Abdi seja babakti kanu sakti, agung tapa
* Nyanggakeun sangu putih sapulukan
* Kukus kuning purba herang
* Tuduh kang seseda tuhu
* Datang ka sang seda herang
* Tepi ka kang seda sakti
* Nu sakti neda kasakten
* Neda deugdeugan tanjeuran

Contoh lainnya,

* Jampe Ngisikan (mencuci beras) :

* Mangga Nyimas Alene Nyimas Maulene
* Geura siram dibanyu mu’min
* Di Talaga Kalkaosar
* Abdi ngiringan
* Nyi Pohaci Budugul Wulung
* Ulang jail babawaan kaula
* Heug
*
* Nyi Pohaci Barengan Jati
* Ulah jail kaniaya
* Ka Nyi Pohaci Sukma Jati
* heug
*

Inilah contoh tertib hidup masyarakat agraris yang menciptakan harmonisasi adapt dengan alam.

Para Sastrawan Sunda pada umumnya, seperti Wahyu Wibisana, Rus Rusyana, Ajip Rosidi menggolongkan Jangjawokan sebagai bentuk puisi sunda. Yus Rusyana menuangkannya dalam buku Bagbagan Puisi Mantra Sunda (1970), sedangkan Ajip Rosidi dalam Jangjawokan (1970). Tentunya lepas dari benar atau salah tentang pemahaman masing-masing terhadap jangjawokan, namun dengan cara katagorisasi menjadi cabang dari puisi, paling tidak dapat terkabarkan kegenarasi berikutnya, bahwa di tatar ini pernah ada bagian dari budaya Sunda yang disebut Jangjawokan.

Menurut Wahyu Wibisana : jangjawokan sejalan dengan maksud puisi magis yang dikemukakan Yus Rusyana dan pendapat Rachmat Subagya pada Agama Asli Indonesia. Dengan mantra orang berangsur-angsur memulangkan kuasa-kuasa imajiner yang dianggap melanggar atas wewenangnya yang imajiner kepada tempat asal wajar mereka yang imajiner juga.


Pengertian imajiner berpusat pada pemikiran yang berhubungan dengan makhluk gaib yang dianggap mempunyai kekuasaan dan kewenangan dan berada di tempat tertentu. Dengan demikian, hal ini ada pada tataran keyakinan dan kepercayaan bahwa dengan cara tertentu, kekuasaan dan kewenangan makhluk gaib itu dapat dimanfaatkan manusia untuk tujuan-tujuan yang dikehendakinya. Cara itulah dengan menggunakan mantra serta segala ketentuannya.


Mengapa Istilah Jangjawokan ?
Wahyu Wibisana dalam SASTRA LAGU : Mencari Hubungan Larik dan Lirik menjelaskan :


Dua buah bentuk puisi sunda yang dapat dikatakan bersifat arkais ialah ajimantra dan bentuk puisi pada cerita pantun. Istilah ajimantra diambil dari naskah kuno Siksa Kandang Karesyan. Sedangkan puisi pada pantuan ada tahun 1518, sama artinya dengan istilah mantra sekarang. Sedangkan puisi pada cerita pantun ada dua yakni rajah dan nataan”.


Jangjawokan suatu arti kata lain dari ajimantra. Istilah ajimantra digunakan dalam Naskah Siksa Kanda Ng Karesyan, ditulis pada tahun 1518 M. Tapi istilah Jangjawokan tidak diketahui sejak kapan. Namun Urang Sunda Tradisional lebih banyak menggunakan istilah Jangjawokan atau ajian ketimbang ajimantra. Mungkin kedua sebutan yang memiliki kesaman makna ini menandakan adanya adaptasi pemahaman, menganggap Jangjawokan (Sunda Buhun) eufimisme dari ajimantra (Sanksekerta).


Ajip Rosidi dalam buku Jangjawokan lebih menekankan pada istilah ini ketimbang mengguna kan kalimat ajimantra, dengan alasan : Istilah ajimantra berasal dari India dan dalam bahasa Sunda tidak pernah digunakan. Dilihat dari segi isinya, Jangjawokan itu berupa permintaan atau perintah agar keinginan sipengguna jangjawokan dilaksanakan oleh nu gaib “makhluk gaib”.

Tapi tanpa mengoreksi paradigma diatas, timbul pertanyaan, apakah benar Jangjawokan itu ajimantra yang dimintakan kepada Makhluk Gaib ?.


Adaptasi bahasa atau keyakinan ?
Sebenarnya untuk mentraslate makna tujuan permohonan dari pelaku jangjawokan mungkin dapat juga ditelusuri melalui penelusuran pemahaman tentang Hyang Tunggal ; Hyang Keresa atau Ketuhanan Yang Maha Esa serta sejarah diri dalam Paradigma Sunda. Karena pemahaman istilah nu gaib tidak selamanya berkonotasi pada makhluk gaib, seperti jin atau makhluk halus, akan tetapi ada juga semacam cara membangkitkan spiritulitas dalam dirinya, seperti paradigma tentang raga ; bathin dan kuring.


Negasi terhadap paradigma diatas dapat dicontohkan, sebagai berikut :.


Ka Indung nu ngandung
Ka Rama nu ngayuga
Ka Indung nu teu ngandung
Ka Rama nu ngayuga
Kadulur opat kalima pancer


Pangnepikeun ieu hate
Ka Indungna anu nagnadung
Ka Ramana anu ngayuga
Ka Indungna nu teu ngandung
Ka Ramana nu ngayuga
Kadulur opat kalima pancer
Kalawan kanu ngurus jeung ngaluis si …. (anu) ……
Dst … dst …….


Saya tidak melihat adanya eksistensi nu gaib dari luar dirinya. Dalam kasus lain, bisa jadi ditujukan untuk memperkuat bathinnya, atau semacam ada perintah ingsun kepada bathinnya untuk berkomunikasi dengan ingsun orang lain.


Jika saja yang dimaksud dalam kandungan jangjawokan sama dengan yang dimaksud dalam Pantun Sunda, mengingat keduanya juga dikatarogikan sebagai puisi arkais, hemat saya dapat pula diperbandingkan dengan referensi dari Buku Jakob Sumardjo tentang ‘Khasanah Pantun Sunda’, terutama tentang ‘arkeologi pemkiran’ Urang Sunda Buhun terhadap ‘Trias Politik Sunda’. Tanpa pemahaman yang jelas niscaya “Urang Sunda” akan kehilangan sejarah pemikirannya yang hakiki.


Signal dari paradigma dan muara pernmohonan bisa pula dikaitkan dengan strata pengabdian dalam hirarki pemerintahannya. Misalnya Wado tunduk kepada Mantri ; Mantri tunduk kepada nangganan ; nangganan tunduk kepada mangkubumi ; mangkubumi, tunduk kepada ratu ; ratu tunduk kepada dewata ; dewata tunduk kepada Hyang. Dengan demikian Hyang lah yang tertinggi.


Menurut Edi S Ekajati, dalam Kebudayaan Sunda – Agama dan kepercayaan :
Kekuasaan tertinggi berada pada Sahyang Keresa (Yang Mahakuasa) atau Nu Ngersakeun (Yang Menghendaki). Dia disebut Batara Tunggal (Tuhan Yang Maha Esa), Batara Jagat (Penguasda Alam), dan Batara Seda Niskala (Yang Gaib). Jadi dalam pemahaman saya, yang membedakan masalah Keesaan Tuhan dalam Paradigma Urang Sunda Wiwitan dengan yang berikutnya terletak pada Syariatnya. Hal ini wajar, mengingat masing-masing ageman memiliki sejarah dan perkembangannya sendiri.


Dalam tradisi Jangjawokan selanjutnya ditemukan ada sebutan Allah kepada yang dimohonkan. Urang sunda biasanya membaca dengan Alloh. Konsonan “O” nya mani lekoh - khas. Bahkan ada jangjawokan dari Urang Baduy yang menggunakan istilah yang digunakan para pemeluk agama islam, seperti dibawah ini.


Sawer Panganten :
Bismillahirohmanirohim.
Panggpunten kasadaya,
Kau nu tua ka nu anom,
Sumawon kanu sepuh mah,
Kaula bade nyembahkeun,
Nyi panganten sareng ki panganten.
Atau dalam Sadat Islam :
Sadat Islam aya dua,
Ngislamkeun badan kalawan nyawa,
Dat hirup tangkal iman,
Ngimankeun badan sakujur,
Hudang subuh banyu wulu,
Parentah Kangjeng Gusti,
Nabi Adam pangyampurnakeun badan awaking,
Sir suci,
Sir adam,
Sir Muhammad,
Muhammad Jaka lalana,
Nu aya di saluhuring alam.


Istilah dalam jangjawokan yang banyak disebut-sebut urang sunda Buhun, seperti Allah – Adam dan Muhammad tentunya tidak bisa dilepaskan dari paradigma tentang Dzat – Sifat – dan Manusia itu sendiri. Mungkin juga menandakan adanya unsur kesatuan yang hakiki antara raga, bathin dan kuring-na manusa. Memang menjadi sulit bagi saya membedakan jika masih ada istilah : Jangjawokan itu suatu permohonan (hanya) kepada Makhluk Gaib, bukan kepada Yang Maha Gaib. Tapi syah-syah saja jika digunakan dalam rangka katagorisasi puisi arkais.


Contoh lainnya do’a untuk belajar, atau agar dicerahkan pikiran. Contoh ini saya dapatkan dari Almarhum Bapak Nunung Setiya, demikian :


Allahuma hujud bungbang
Nu hurung dina jajantung
Nu ruhay dina kalilipa
Remet meteng dina angen
Bray padang ….. Alllah.
Pangmukakeun kareremet nu aya didiri kula
Bray padang,
Brya caang,
Caangna salalawasna
Lawasna Saumur kula.


Setelah Bapak Nunung meninggal kemudian saya coba telusuri dari mana asal jangjawokan itu, dan bagaimana pula bahasa aslinya. Pada akhirnya saya menemukan dari salah satu sumber, konon dahulunya berisi, demikian :

Hujud bungbang
Nu hurung dina jajantung
Nu ruhay dina kalilipa
Remet meteng dina angen
Bray padang,
Pangmukakeun kareremet nu aya didiri kula
Bray padang,
Brya caang,
Caangna salalawasna
Lawasna Saumur kula.


Jika saja yang kedua diatas diyakini bersumber dari jangjawokan yang pertama dan tidak ditemukan kalimat Tauhid, namun dalam bentuk dibawah pun tidak ditemukan adanya unsur yang memintakan kepada makhluk gaib dalam arti diluar (kekuatan) dirinya. Kecuali jika indung mu ngandung dan nu teu ngandung ; bapak nu nungayuga kalawan nu teu ngayuga ; dulur opat kalima pancer dianggap makhluk gaib ?.


Saya justru menafsirkan, dengan dicantumkannya kalimat Tauhid didalam jangjawokan tersebut, justru dikembangkan oleh urang sunda berikutnya, bertujuan memintakan legitimasi dan ijin dari yang Maha Gaib. Setidak-tidaknya bertujuan untuk mengurangi tudingan menduakan Tuhan. Tapi ada benarnya jika urang tua dulu berujar “antara Gusti jeung makhlukna euweuh watesna, leuwih deukeut jeung naon wae, malah masih jauh antara hate jeung urat beuheung”.


Ciri-ciri Jangjawokan
Jangjawokan didalam koridor satra puisi arkais didefinisikan, sebagai : permintaan atau perintah agar keinginan (orang yang menggunakan jangjawokan) dilaksanakan oleh nu gaib “makhluk gaib” sebatas ini mudah dipahami, yakni para pengguna jangjawokan menggunakan makhluk gaib untuk mencapai keinginannya. Namun tidak dapat dipungkiri jika ditemukan pula jangjawokan yang menggunakan bacaan sebagaimana lajimnya digunakan oleh urang sunda yang beragama islam (lihat Sadat Buhun), dikatagorikan do’a, bukan jangjawokan. Namun apakah tidak ada jangjawokan bukan do’a ?.


Pemilahan jangjawokan dengan do’a dimungkinkan terjadi jika jangjawokan dikatagorikan sebagai bagian dari puisi sunda (arkais), serta dibahas dalam kacamata sastra. Indikator jangjawokan ditentukan berdasarkan kacamata sastra. Namun boleh saja jika jangjawokan dilihat dari kacamata lainnya. Karena ketika seseorang mengucapkan jangjawokan tentu tujuannya bukan untuk membaca puisi.


Jangjawokan diyakini memiliki kekuatan magis. Kemungkinan kekuatan dari kandungan magis yang dirasakan nyaman menyebabkan jangjawokan ditularkan secara turun temurun. Jangjawokan tidak mungkin bisa bertahan dan terkabarkan hingga sekarang jika tidak dirasakan manfaatnya dan diyakini kekuatannya. Yang jelas ada harmoni manusia dengan alamnya ketika jangjawokan itu dibacakan.


Peran jangjawokan bisa diasumsikan keberadaanya sebelum kemudian diserahkan kepada para penyembuh modern, seperti dokter ; psikolog ; atau profesi apapun yang terkait dengan masalah penyembuhan fisik dan psikis. Jangjawokan digunakan pula dalam keseharian, sebagai bagian dari tertib hidup, seperti pada kegiatan sebelum buang air dan kegiatan lainnya.


Jangjawokan dalam jenis ini bisa ditemukan dalam Jampe Kahampangan (Jampi hendak buang air kecil) ; Jampe Kabeuratan (hendak buang air besar) ; Jampe Neda (Jampi sebelum makan) ; Jampe Masamon (Jampi bertamu) dll. Konon kabar, kekuatan dari magisnya terletak pada kebersihan hati si pelafalnya dan kesungguhan bagi para penggunannya. Namun saya tidak bisa terlalu jauh masuk untuk mengetahui pengaruhnya, biarlah ini merupakan bagian dari bidang l.ainnya.


Wahyu Wibisana, mengkatagorikan: ”ajimantra (baca : Jangjawokan) merupakan sastra arkais yang pernah muncul kemudian setelah sastra sunda kuno. Dikatakan ’pernah digunakan’ dan ’pernah muncul’, karena memang saat ini kebanyakan orang sunda sudah tidak menggunakan dan sekaligus tidak mempercayai ajimantra. Hanya saja, sebagai karya sastra (yang umumnya berbentuk lisan) tetap merupakan genre tersendiri dalam sastra Sunda seperti juga pada sastra daerah lainnya di Nusantara.”.


Dari pernyataan diatas, saya yakin Kang Wahyu masih menganggap bahwa masih ada masyarakat Sunda yang menggunakan jangjawokan. Kitapun lantas tidak bisa menafsirkan masyarakat pengguna jangjawokan sebagai masyarakat ketinggalan jaman, karena realitasnya masih nyaman untuk digunakan. Dengan dimasukannya ajimantra sebagai bagian dari puisi maka masih bisa ditelusuri dan terkabarkan beritanya kepada generasi berikutnya. Setidak-tidaknya katagorisasi ini dapat menyelamatkan jangjawokan sebagai asset budaya bangsa, sekalipun hanya dinikmati sebagai karya seni, tidak pada unsur magisnya.


Ciri-ciri Jangjawokan.
Jangjawokan menurut Wahyu Wibisana memiliki ciri-ciri, yakni :

1. menyebutkan nama kuasa imajiner, seperti : Pohaci Sanghiyang Asri, Batara, Batari dll.
2.

dalam kalimat atau frase yang menyatakan si pengucap janjawokan berada pada posisi yang lebih kuat, otomatis berhadapan dengan pihak yang lemah.
3.

berhubungan dengan konsvensi puisi, merupakan kelanjutan dari gaya Sastra Sunda Buhun dan cerita Pantun, yakni adanya desakan atau perintah, disamping himbauan, tegasnya bersifat imperative dan persuasif.
4.

masih berhubungan dengan konvensi puisi, adanya rima-rima dalam jangjawokan. Rima-rima dimaksud memiliki fungsi estetis ; membangun irama ; fungsi magis ; fungsi membuat ingatan orang yang mengucapkan.
5.

adanya lintas kode bahasa pada ajimantra yang hidup di Priangan dan Baduy. Bahasa jangjawokan tersebut diserap seutuhnya atau disesuaikan dengan lidah pengucapnya.
6.

terkesan sebagai sastra arkais yang pernah muncul kemudian setelah sastra sunda.

Ciri-ciri diatas tentunya dilihat dari katagori Jangjawokan sebagai bagian dari puisi arkais sunda. Jadi wajar jika ada tekanan tujuan dari materi jangjawokan ; gaya sastra dan gaya bahasa ; rima-rima ; dan kelahirannya paska sastra sunda.


Penyebutan Kuasa Imajiner
Pengertian imajiner berpusat pada pemikiran yang berhubungan dengan makhluk gaib yang dianggap mempunyai kekuasaan dan kewenangan dan berada di tempat tertentu. Pada tataran keyakinan dan kepercayaan bahwa dengan cara tertentu, kekuasaan dan kewenangan makhluk gaib itu dapat dimanfaatkan manusia untuk tujuan-tujuan yang dikehendakinya, sebagaimana dalam Jangjawokan.


Nama-nama kuasa imajiner yang dimaksudkan tentunya sangat terkait dengan istilah-istilah yang digunakan urang Sunda Buhun. Seperti Pohaci Sanghyang Asri ; Batara dan Batari ; Sri Tunggal Sampurna ; Malaikat Incer Putih ; Raden Angga Keling ; Ratu Teluh ti Galunggung ; Sang Ratu Babut Buana. Penyebutan kuasa imajiner tersebut, seperti contoh dibawah ini :


Jampe Masamoan
Nu ngariung jiga lutung
Nu ngarendeng jiga monyet
Nya aing mandahna !
Maung pundung datang turu
Badak galak datang depa
Galudra di tengah imah
Kakeureut kasieup ku pohaci awaking.


Jampe masamoan diatas bertujuan agar memiliki kekuatan yang tersinari pohaci yang ada didalam dirinya. Bahkan ada semacam perintah bathin kepada siapapun yang ada ditempat pasamoan tersebut untuk tunduk dan menerima kehadirannya. Mungkin juga dapat ditafsirkan adanya perintah bathin orang yang hendak bertamu kepada bathin pihak”nu dipasamoan’.


Contoh perintah bathin ini dapat dilihat dari asihan asihan seperti dibawah ini, sebagai berikut :



Ka Indung anu ngandung
Ka Rama anu ngayuga
Ka Indung nu teu ngandung
Ka Rama anu teu ngayuga
kadulur opat kalima pancer
Pang nepikeun ieu hate
Ka Indung na anu ngandung
Ka Rama na anu ngayuga
Ka Indung na nu teu ngandung
Ka Rama na anu teu ngayuga
Kadulur na opat kalima pancer
Kalawan kanu ngurus ngaluis hirup jeung huripna... (sianu) .......
Pamugi sing ..........


Jangjawokan diatas terasakan adanya perintah bathin (rasa) dari pembaca jangjawokan kepada bathin (rasa) orang yang dituju untuk melaksanakan apa yang dikehendakinya. Perintah dan urusan koridor bathin ini sangat nampak ketika pemohon memerintahkan bathinnya untuk menyampaikan kepada bathin tujuannya. Seperti ada eksistensi indung dan bapak anu ngandung kalawan nu teu ngandung. Kemudian disebut pula eksistensi dari saudara yang empat dan pancernya.


Dalam konteks yang sama ditemukan pula istilah-istilah spiritual yang lajim digunakan orang sunda penganut agama islam. Sehingga kuasa imajiner jika ditafsirkan sebagai sesuatu yang gaib atau makhluk terasa menjadi rancu jika kita membaca jangjawokan seperti dibawah ini.


Jampe Unggah
Ashadu sahadat bumi
Ma ayu malebetan
Bumi rangsak tanpa werat
Lan tatapakan ing Muhammad
Birahmatika ya arohmana rohomin


Jampe Turun
Allohuma ibu bumi
Medal tapak tatapakan
Turun wawayanging ing Muhamad
Birahmatika ya arohma rohimin.


Jika saja ditelaah lebih lanjut dari kedua jangjawokan terakhir, saya sendiri menjadi maklum, bahwa permohonan bathin kepada sesuatu ”Yang Gaib” dimintakan ijin terlebih dahulu kepada ”Yang Maha Gaib”, atau dapat juga disimpulkan bahwa atas kehendak yang Maha Gaib maka Yang Gaib itu bisa diperintahkan.


Istilah ”Nu Gaib” disini tentunya menimbulkan pertanyaan, Nu Gaib anu mana ?. Mungkin alangkah lebih bijaknya jika mendefinisikan jangjawokan dengan cara menggunakan paradigma dari para penggunanya, yakni masyarakat Sunda Buhun. Dalam paradigma masyarakat Sunda Buhun, terutama ketika mengkaji dan menemukan sejarah diri akan terungkap ada tiga unsur yang menyebabkan manusa hirup jeung hurip, yakni unsur lahir (raga) ; bathin (hidup) dan kuring (aku). Kuring atau aku bertindak sebagai driver bagi lahir dan bathin, bagi raga jeung hirupna. Aku pula yang memanaje raga dan bathin.


Dari paradigma tersebut tentunya dapat disimpulkan, bahwa nu gaib itu bukan sesosok makhluk yang ada diluar dirinya, melainkan nu ngancik dina dirina.


Pemberi perintah
Dalam jangjawokan, si pengguna bertindak sebagai pemberi perintah bathin, paling tidak sebagai pihak yang ‘menginginkan’ sesuatu. Oleh para sastrawan diposisikan sebagai pihak yang lebih kuat terhadap penerima perintah. Misalnya :


Nu ngariung jiga lutung
Nu ngarendeng jiga monyet
Nya aing mandahna
…………..
kakeureut ka sieup ku pohaci awaking


Atau :


Curuk aing curuk angkuh
Bisa ngangkuh putra ratu
……
mangka reret soreang
soreang ka badan awaking


Sipemberi perintah hemat saya tidak selamanya memposisikan diri sebagai pihak yang lebih kuat, karena ada juga kecenderungan kalimat yang dapat ditafsirkan sebagai permohonan atau himbauan, bukan perintah. Jika perhadapkan dengan yang kuat dan yang lemah, maka sangat tepat jika ia sebagai pihak yang lebih rendah dan sedang menginginkan sesuatu.


Tipe jangjawokan semacam diatas, seperti dibawah ini :


Jampe nyimpen Beas
Mangga Nyi Pohaci
Nyimas Alane Nyimas Mulane
Geura ngalih ka gedong manik ratna inten
Abdi ngiringan …………….

Dari kalimat tersebut lebih jauh dari unsure memerintah. Sekalipun menaruh harapan besar untuk melakukan. Namun lebih tepay jika dikatagorikan membujuk untuk melakukan. Contoh lainnya, seperti dalam Jampe ngisikan : Mangga Nyimas Alene Nyimas Mulane - Geura siram dibanyu mu’min - Di Talaga Kalkaosar - Abdi ngiringan ……dst”.


Saya menemukan beberapa kasus. Untuk jenis jangjawokan tertentu, seperti pangabaran atau asihan, penyatuan bathin dan kandungan jangjawokan dilakukan melalui proses ‘kuru cileuh kentel peujit’. Mungkin ini untuk menumbuhkan kesungguhan dan keteguhan hati serta keyakinan agar tujuan tersebut bisa dicapai. Dalam temuan saya (mungkin suatu kebetulan), dilakukan pula oleh masyarakat yang bukan penganut ajaran Sunda Buhun.


Cara-cara dan budaya demikian bukan hanya dilakukan oleh ‘urang sunda buhun’ bahkan sampai sekarang masih ada yang melakukannya. Misalnya melakukan dengan cara berpuasa dalam jumlah hari tertentu ; melakukan wirid ; atau melakukan shalat malam. Sedangkan ukuran keberhasilannya tidak sama dengan peta pengalaman seperti makan rawit, langsung terasa pedasnya, atau bisa dinikmati.


Penekanan perintah
Dalam jangjawokan sering ditemukan pengulangan perintah atau semacam ‘penegasan perintah untuk dilaksanakan’. Perintah ini bersifat imperatif atau persuasif, misalnya :


Bray padang, Bray caang
Caangna salalawasna,
lawasna Saumur kula
……………………………
mangka langgeng mangka tetep
mangka hurip kajayaan


Kalimat ini tentunya bukan sekedar penegasan, namun dapat juga diartikan sebagai kesungguhan untuk mencapai apa yang dikehendakinya.


Penutup
Sebenarnya sangat sulit mendifinisikan jangjawokan, kecuali dari kandungan keinginan yang termaktub didalam jangjawokan itu sendiri. Jika dinyatakan meminta kepada makhluk gaib, namun yang ditemukan adalah upaya menguatkan bathin, bahkan ada negasi tentang eksistensi Tuhan. Kemudian, jika saja dinyatakan sebagai perintah, itupun sulit diderfinisikan, mengingat ada pula jangjawokan yang isinya memohon atau menghimbau.

Jangjawokan adalah hasil cipta, karsa dan rasa manusia Sunda. Memiliki akar kesejarahan yang mandiri. Sejalan dengan perkembangan dan sejarah pemahaman tentang keyakinan dan sejarah diri, bahkan pernah dirasakan manfaatnya. Jangjawokan bukan sekedar puisi yang dapat dinikmati kata-katanya, namun sebagai sesuatu yang diyakini memiliki kekuatan. Biarlah jangjawokan ‘diampihan’ sebagai puisi, agar tidak hilang dan dapat terkabarkan dikemudian hari.

Mun seug tea mah aya nu nyungsi rusiah jangjawokan, dipaluruh nepi ka wates wangenna. Tinangtu bakal panggih jeung sajatining hirup jeung huripna. Nu gaib lain makhluk nu misah tina ingsunna. Nu ngulon, ngaler, ngetan jeung ngidul, lain nu nyengkal tina pancerna. Sakabehna aya na hate jeung rasana, aya dina uteuk jeung pikiranana. Ibarat gula jeung amisna, uyah jeung asinna, ngajirim ngajadi hiji, kalawan tinekenan bakal kabuka rusiah, saha ari urang ? timana ari urang ? jeung rek kamana ari urang ?. Sabab mun manusa geus wawuh jeung dirina tinangtu bakal wawuh ka Gusti na.(Cag).


Bahan Bacaan :

1. - Sastra Lagu – Mencari Hubungan Larak dan Lirik, Wahyu Wibisana dalam, Buku Lima Abad Sastra Sunda, Geger Sunten – Juni 2000
2. - Kebudayaan Sunda, Edi S. Ekadjati, Pustaka Jaya – 1995
3. - Prabu Siliwangi, Moh. Amir Sutaarga – 1966.
4. - Keterangan almarhum Bapak Nunung Setiya – Ciwidey Bandung.

sejarah penggunaaan bahasa sunda

Sejarah Penggunaan Bahasa Sunda


Bahasa Sunda merupakan bahasa yang diciptakan dan digunakan oleh orang Sunda dalam berbagai keperluan komunikasi kehidupan mereka. Tidak diketahui kapan bahasa ini lahir, tetapi dari bukti tertulis yang merupakan keterangan tertua, berbentuk prasasti berasal dari abad ke-14.


Prasasti dimaksud di temukan di Kawali Ciamis, dan ditulis pada batu alam dengan menggunakan aksara dan Bahasa Sunda (kuno). Diperkirakan prasasti ini ada beberapa buah dan dibuat pada masa pemerintahan Prabu Niskala Wastukancana (1397-1475).

Salah satu teks prasasti tersebut berbunyi “Nihan tapak walar nu siya mulia, tapak inya Prabu Raja Wastu mangadeg di Kuta Kawali, nu mahayuna kadatuan Surawisésa, nu marigi sakuliling dayeuh, nu najur sakala désa. Ayama nu pandeuri pakena gawé rahayu pakeun heubeul jaya dina buana” (inilah peninggalan mulia, sungguh peninggalan Prabu Raja Wastu yang bertakhta di Kota Kawali, yang memperindah keraton Surawisesa, yang membuat parit pertahanan sekeliling ibukota, yang menyejahterakan seluruh negeri. Semoga ada yang datang kemudian membiasakan diri berbuat kebajikan agar lama berjaya di dunia).


Dapat dipastikan bahwa Bahasa Sunda telah digunakan secara lisan oleh masyarakat Sunda jauh sebelum masa itu. Mungkin sekali Bahasa Kw’un Lun yang disebut oleh Berita Cina dan digunakan sebagai bahasa percakapan di wilayah Nusantara sebelum abad ke-10 pada masyarakat Jawa Barat kiranya adalah Bahasa Sunda (kuno), walaupun tidak diketahui wujudnya.


Bukti penggunaan Bahasa Sunda (kuno) secara tertulis, banyak dijumpai lebih luas dalam bentuk naskah, yang ditulis pada daun (lontar, enau, kelapa, nipah) yang berasal dari zaman abad ke-15 sampai dengan 180. Karena lebih mudah cara menulisnya, maka naskah lebih panjang dari pada prasasti. Sehingga perbendaharaan katanya lebih banyak dan struktur bahasanya pun lebih jelas.


Contoh bahasa Sunda yang ditulis pada naskah adalah sebagai berikut:


(1) Berbentuk prosa pada Kropak 630 berjudul Sanghyang Siksa Kandang Karesian (1518) “Jaga rang héés tamba tunduh, nginum twak tamba hanaang, nyatu tamba ponyo, ulah urang kajongjonan. Yatnakeun maring ku hanteu” (Hendaknya kita tidur sekedar penghilang kantuk, minum tuak sekedar penghilang haus, makan sekedar penghilang lapar, janganlah berlebih-lebihan. Ingatlah bila suatu saat kita tidak memiliki apa-apa!)

(2) Berbentuk puisi pada Kropak 408 berjudul Séwaka Darma (abad ke-16) “Ini kawih panyaraman, pikawiheun ubar keueung, ngaranna pangwereg darma, ngawangun rasa sorangan, awakaneun sang sisya, nu huning Séwaka Darma” (Inilah Kidung nasihat, untuk dikawihkan sebagai obat rasa takut, namanya penggerak darma, untuk membangun rasa pribadi, untuk diamalkan sang siswa, yang paham Sewaka Darma).


Tampak sekali bahwa Bahasa Sunda pada masa itu banyak dimasuki kosakata dan dipengaruhi struktur Bahasa Sanskerta dari India. Setelah masyarakat Sunda mengenal, kemudian menganut Agama Islam, dan menegakkan kekuasaan Agama Islam di Cirebon dan Banten sejak akhir abad ke-16. Hal ini merupakan bukti tertua masuknya kosakata Bahasa Arab ke dalam perbendaharaan kata Bahasa Sunda.


Di dalam naskah itu terdapat 4 kata yang berasal dari Bahasa Arab yaitu duniya, niyat, selam (Islam), dan tinja (istinja). Seiring dengan masuknya Agama Islam kedalam hati dan segala aspek kehidupan masyarakat Sunda, kosa kata Bahasa Arab kian banyak masuk kedalam perbendaharaan kata Bahasa Sunda dan selanjutnya tidak dirasakan lagi sebagai kosakata pinjaman.


Kata-kata masjid, salat, magrib, abdi, dan saum, misalnya telah dirasakan oleh orang Sunda, sebagaimana tercermin pada perbendaharaan bahasanya sendiri. Pengaruh Bahasa Jawa sebagai bahasa tetangga dengan sesungguhnya sudah ada sejak Zaman Kerajaan Sunda, sebagaimana tercermin pada perbendaharaan bahasanya. Paling tidak pada abad ke-11 telah digunakan Bahasa dan Aksara Jawa dalam menuliskan Prasasti Cibadak di Sukabumi. Begitu pula ada sejumlah naskah kuno yang ditemukan di Tatar Sunda ditulis dalam Bahasa Jawa, seperti Siwa Buda, Sanghyang Hayu.


Namun pengaruh Bahasa Jawa dalam kehidupan berbahasa masyarakat Sunda sangat jelas tampak sejak akhir abad ke-17 hingga pertengahan abad ke-19 sebagai dampak pengaruh Mataram memasuki wilayah ini. Pada masa itu fungsi Bahasa Sunda sebagai bahasa tulisan di kalangan kaum elit terdesak oleh Bahasa Jawa, karena Bahasa Jawa dijadikan bahasa resmi dilingkungan pemerintahan. Selain itu tingkatan bahasa atau Undak Usuk Basa dan kosa kata Jawa masuk pula kedalam Bahasa Sunda mengikuti pola Bahasa Jawa yang disebut Unggah Ungguh Basa.


Dengan penggunaan penggunaan tingkatan bahasa terjadilah stratifikasi social secara nyata. Walaupun begitu Bahasa Sunda tetap digunakan sebagai bahasa lisan, bahasa percakapan sehari-hari masyarakat Sunda. Bahkan di kalangan masyarakat kecil terutama masyarakat pedesaan, fungsi bahasa tulisan dan bahasa Sunda masih tetap keberadaannya, terutama untuk menuliskan karya sastera WAWACAN dengan menggunakan Aksara Pegon.


Sejak pertengahan abad ke 19 Bahasa Sunda mulai digunakan lagi sebagai bahasa tulisan di berbagai tingkat sosial orang Sunda, termasuk penulisan karya sastera. Pada akhir abad ke 19 mulai masuk pengaruh Bahasa Belanda dalam kosakata maupun ejaan menuliskannya dengan aksara Latin sebagai dampak dibukanya sekolah-sekolah bagi rakyat pribumi oleh pemerintah.


Pada awalnya kata BUPATI misalnya, ditulis boepattie seperti ejaan Bahasa Sunda dengan menggunakan Aksara Cacarakan (1860) dan Aksara Latin (1912) yang dibuat oleh orang Belanda. Selanjutnya, masuk pula kosakata Bahasa Belanda ke dalam Bahasa Sunda, seperti sepur, langsam, masinis, buku dan kantor.


Dengan diajarkannya di sekolah-sekolah dan menjadi bahasa komunikasi antar etnis dalam pergaulan masyarakat, Bahasa Melayu juga merasuk dan mempengaruhi Bahasa Sunda. Apalagi setelah dinyatakan sebagai bahasa persatuan dengan nama Bahasa Indonesia pada Tahun 1928. Sejak tahun 1920-an sudah ada keluhan dari para ahli dan pemerhati Bahasa Sunda, bahwa telah terjadi Bahasa Sunda Kamalayon, yaitu Bahasa Sunda bercampur Bahasa Melayu.


Sejak tahun 1950-an keluhan demikian semakin keras karena pemakaian Bahasa Sunda telah bercampur (direumbeuy) dengan Bahasa Indonesia terutama oleh orang-orang Sunda yang menetap di kota-kota besar, seperti Jakarta bahkan Bandung sekalipun. Banyak orang Sunda yang tinggal di kota-kota telah meninggalkan pemakaian Bahasa Sunda dalam kehidupan sehari-hari di rumah mereka. Walaupun begitu, tetap muncul pula di kalangan orang Sunda yang dengan gigih memperjuangkan keberadaan dan fungsionalisasi Bahasa Sunda di tengah-tengah masyarakatnya dalam hal ini Sunda dan Jawa Barat. Dengan semakin banyaknya orang dari keluarga atau suku bangsa lain atau etnis lain yang menetap di Tatar Sunda kemudian berbicara dengan Bahasa Sunda dalam pergaulan sehari-harinya. Karena itu, kiranya keberadaan Bahasa Sunda optimis bakal terus berlanjut.



Disadur dari Sumber :

Ensiklopedia Sunda - Pustaka Jaya

Disadur dari http : reno overwoker.com

Puing Kerajaan Pajajaran

Mencari jejak kerajaan Pajajaran memang harus dilakukan melalui cara melingkar, atau mengabungkan dalam bentuk puzel. Secara resmi daerah yang dikonotasikan bekas peninggalan ibu kota Pajajaran (Pakuan) baru ditemukan Scipio seabad kemudian. Selain itu para sejarawan sering menarik benang merah dari naskah-naskah kuno, seperti carita Parahyangan, Naskah Wangsakerta dan Serat Banten.
Upaya lain yang ditemukan dilakukan melalui penulusuran sejarah lisan yang disampaikan turun temurun, seperti cerita pantuan atau keterangan para juru kunci. Namun dari alur ini adakalanya dihubungkan dengan hal-hal yang bersifat mistis atau supranatural, sehingga penemuan sejarah malah menjadi kabur.

Mermang sulit menemukan titik pusat kota pajajaran (pakuan), selain kota Bogor telah padat dihuni penduduk dan aktifitas ekonominya, juga masih kurangnya prioritas terhadap sejarah. Seperti di buatnya Real Estate di lokasi situs Rancamaya, padahal ketika itu sudah diyakini sebagai situs Pajajaran yang banyak disebut-sebut dalam catatan sejarah. Hal tersebut juga sama ketika para ahli menemukan lokasi percandian di daerah Batujaya, yang diyakini sebagai peninggalan masa Tarumanagara, lebih tua dari candi manapun di Indonesia, saat ini sudah dipastikan terdapat 26 candi, namun sayangnya masalah pemugarannya masih terkendala, dengan alasan belum ada biaya.

Masalah yang mungkin menghambat terkait dengan penemuan jejak Pajajaran adalah adanya keyakinan yang terkait dengan masalah relijius atau keengganan untuk menguak kebenaran dari kesejarahan Pajajaran. Mungkin ada benarnya Uga Prabu Siliwangi yang mengabarkan kepada para pengikutnya :

* “Sing waspada! Sabab engké arinyana, bakal nyaram Pajajaran didongéngkeun. Sabab sarieuneun kanyahoan, saenyana arinyana anu jadi gara-gara sagala jadi dangdarat. Buta-buta nu baruta; mingkin hareup mingkin bedegong, ngaleuwihan kebo bulé. Arinyana teu nyaraho, jaman manusa dikawasaan ku sato!”.


Didalam Pustaka Nusantara III/1 dan Kretabumi I/2 menyebutkan runtuhnya Pajajaran terjadi pada pada tanggal 11 bagian terang bulan Wesaka tahun 1501 Saka, bertepatan dengan tanggal 8 Mei 1579 M. Naskah tersebut menjelaskan :

*


“Pajajaran sirna ing ekadaśa śuklapaksa Wesakamasa sewu limang atus punjul siki ikang Śakakala”. Sedangkan “Runtagna” Pajajaran didalam naskah “Waruga Jagat” dan naskah “Pancakaki Masalah Karuhun Kabeh” disebutkan : "Pajajaran burak pada tahun jim akhir".

Sejalan dengan naskah tersebut, didalam serat Banten diceritakan pula tentang keberangkatan pasukan Banten ketika melakukan penyerangan ke Pakuan dengan pupuh Kinanti, terjemaahaannya :

* "Waktu keberangkatan itu (pasukan Banten) terjadi pada bulan Muharam tepat pada awal bulan hari Ahad tahun Alif inilah tahun Sakanya satu lima kosong satu".

Banyak para ahli sejarah yang mencari musabab dapat direbutnya Pakuan, sekalipun telah ditinggalkan 12 tahun oleh rajanya, benteng Pakuan yang di bangun pada Sri Baduga tersebut masih berdiri kokoh. Namun untuk saat ini kisah yang dimuat dalam Serat Banten menjadi masuk akal. Konon kabar perisiwa ini hampir sama dengan cerita “kuda troya”.

Pakuan dapat mudah dibobol setelah terjadinya penghianatan yang dilakukan oleh Komandan kawal benteng Pakuan yang merasa sakit hati karena tidak memperoleh kenaikan pangkat. Secara kebetukan Sang Komandan saudara dari Ki Jongjo, seorang kepercayaan Maulana Yusuf. Ketika malam tiba, sang komandan membuka pintu benteng dari dalam, ia mempersilahkan pasukan Banten masuk, sehingga tanpa disadari para penghuni Pakuan, pasukan Banten sudah berada ditengah-tengah mereka.

Memang dalam catatan sejarah banyak rangkaian yang menyebabkan runtuhnya Pajajaran. bermula dari masalah intern Kadatuan Pajajaran sampai dengan adanya alasan Cirebon, Demak dan Banten untuk mengislamkan Pajajaran. Selain hal tersebut, ada beberapa akhli yang menilik lebih jauh, bahwa kejatuhan Pakuan tidak terlepas dari keinginan Hasanudin yang ingin menaklukan Pajajaran dan mengingkari perjanjian yang dibuat pada masa Jayadewata dengan para penghulu Demak, Banten dan Cireon. Yang jelas hal ini pun tidak dapat dilepaskan dari adanya infasi perdagangan para Saudagar Islam di wilayah Pasundan.

Dari rangkaian peristiwa ini Pajajaran Sirna Hing Bumi, ditandai dengan diboyongnya Palangka Sriman Sriwacana, suatu batu yang kerap dijadikan singgasana raja-raja Pajajaran ketika dinobatkan. Batu tersebut diboyong oleh pasukan Panembahan Yusuf ke Surasowan - Banten lama. Dengan diboyongnya batu tersebut bertujuan politis agar tidak ada lagi raja pajajaran yang dilantik. Dilain sisi memberikan legitimasi kepada Maulana Yusuf sebagai penerus kekuasaan Pajajaran yang sah, karena Maulana Yusup juga masih dianggap “teureuh” Sri Baduga Maharaja. Palangka Sriman Sriwacana saat ini bisa ditemukan di depan bekas Keraton Surasowan Banten lama. Orang Banten menyebutnya watu gigilang, berarti mengkilap atau berseri, sama artinya dengan “sriman”.

Perihal batu Palangka Sriman Sriwacana dikisahkan dalam Carita Parahyangan, sebagai berikut :
Sang Susuktunggal inyana
nu nyieuna palangka Sriman Sriwacana
Sri Baduga Maharajadiraja
Ratu Haji di Pakwan Pajajaran
nu mikadatwan Sri Bima Punta
Narayana Madura Suradipati,
inyana Pakwan Sanghiyang
Sri Ratu Dewata.
(Sang Susuktunggal beliau - yang membuat tahta Sriman Sriwacana - (untuk) Sri Baduga Maharaja - ratu penguasa di Pakuan Pajajaran - yang bersemayam di keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati, - yaitu istana Sanghiyang - Sri Ratu Dewata).

Istilah "palangka" berarti tempat duduk atau "tahta". Dalam tradisi Pajajaran digunakan pada upacara penobatan. Di atas batu palangka para calon raja diwastu atau diberkati oleh Purohita. Letak palangka berada di kabuyutan kerajaan dan tidak di berada dalam istana. Batu palangka terbuat befrbentuk yang digosok menjadfi halus dan mengkilap. Dalam perjalanan selanjutnya, masyarakat sunda menyebutnya batu pangcalikan atau batu ranjang. Sebagaimana yang ditemukan di makam kuno dekat Situ Sangiang - Cibalarik Sukaraja Tasikmalaya dan di Karang Kamulyan bekas pusat Kerajaan Galuh. Sedangkan batu ranjang ditemukan di Desa Batu Ranjang Cimanuk, Pandeglang (ditengah sawah).

Sebagian penduduk Pakuan yang ada pertalian darah dengan keluarga keraton, ikut mengungsi dengan satu-satunya raja yang bersedia meneruskan tahta Pajajaran, yaitu Sang Ragamulya Suryakancana, putra Prabu Nilakendra. Ia mengungsi ke wilayah barat laut, tepatnya di lereng Gunung Pulasari Pandeglang, Kampung Kadu Hejo, Kecamatan Menes, Kabupaten Pandeglang.

Menurut legenda “Kadu Hejo”, di daerah Pulasari (tempat situs Purbakala) terdapat peninggalan seorang raja tanpa membawa mahkota. Didalam kisah lainnya, atribut dan mahkota raja Pajajaran tersebut diselamatkan oleh Jayaperkosa dan saudara-saudaranya, sedangkan Sang Ragamulya memerintah tanpa mahkota, karena iapun memerintah sebagai raja pendeta, tetapi akhirnya dihancurkan Pasukan Banten yang menyerang kerajaan itu.Bagi Jayaperkosa dan adik-adiknya, diboyongnya batu Palangka bukan berarti berakhirnya trah raja-raja Pajajaran untuk berkuasa di tatar Sunda, sebab ia masih sempat memboyong atribut (pakaian) raja Pajajaran ke Sumedang Larang. Dikelak kemudian hari Geusan Ulun diistrenan sebagai pewaris syah raja Pajajaran, ia juga dipercaya sebagai pemegang 44 Kandaga Lante dan 8 Umbul. Namun sayang Pangeran Arya Suriadiwangsa, putranya (ada juga yang menyebutkan putra titinya) menyerahkan Sumedang kepada Sultan Agung Mataram, tanpa syarat apapun, sehingga tatar Sunda menjadi Vasaal Mataram.

Puing Kerajaan
Perkiraan bekas Kadatuan Pajajaran ditemukannya kembali selang satu abad kemudian, oleh ekspedisi Scipio (1 September 1687), dalam bentuk puing yang diselimuti oleh hutan tua. Dalam laporan Gubernur Belanda dijelaskan, bahwa : istana tersebut terutama tempat duduk raja dikerumuni dan dirawat oleh sejumlah besar harimau. Dari sinilah dimungkinkan munculnya mitos, bahwa pasukan atau yentara pajajaran berganti wujud menjadi harimau.

Ketika melakukan penelitian tersebut Scipio diantar Penduduk Kedunghalang dan Parung Angsana sendiri, mereka kemudian diakui sebagai peziarah pertama setelah Pakuan dinyatakan hilang. Tak heran, mereka menduga puing kabuyutan Pajajaran yang mereka temukan sebagai singgasana raja.

Hal yang berkaitan tentang sakralnya singgasana tersebut diceritakan pula oleh Abraham van Riebeeck (1703), dia melihat adanya sajen yang diletakkan di atas piring di kabuyutan tersebut. Sehingga ditafsirkan pula sejak ditemukan kembali oleh Scipio masyarakat merasakan menemukan kembali Pajajaran yang telah hilang.

Kemudian pada tahun 1709, Van Riebeeck melihat adanya ladang baru pada lereng Cipakancilan. Disini menemukan adanya tanda-tanda kehidupan baru di bekas Pakuan. Diperkirakan peladang tersebut akan membuat dangau tempat tinggalnya pada tepi alur Cipakancilan. Dengan demikian orang belanda telah mengetahui jauh-jauh hari nama Pakuan, Pajajaran dan Siliwangi dua abad sebelum nama Pakuan Pajajaran diketahu lewat pembacaan prasasti batu tulis oleh Friederich pada tahun 1853.

Pakuan bagi sebagaian besar masyarakat Sunda bukan hanya sekedar lokasi kerajaan, melainkan menyimpan berjuta kenangan tentang kejayaan Pajajaran di masa lalu yang lengkap dengan tingginya kebudayaan, bahkan masih banyak masyarakat Sunda yang menganggap bahwa sebenarnya Kerajaan Pajajaran tidak runtuh, tapi tilem. Namun apapun masalahnya, mungkin ada kata-kata bijak yang diyakini sebagai Uga Wangsit Silihwangi, tentang sikap yang harus dilakukan masyarakat Sunda, unina :

*


Lalakon urang ngan nepi ka poé ieu, - najan dia kabéhan ka ngaing pada satia! - Tapi ngaing henteu meunang mawa dia pipilueun, - ngilu hirup jadi balangsak, ngilu rudin bari lapar. - Dia mudu marilih, pikeun hirup ka hareupna, - supaya engké jagana, jembar senang sugih mukti, - bisa ngadegkeun deui Pajajaran ! - Lain Pajajaran nu kiwari, tapi Pajajaran anu anyar, - nu ngadegna digeuingkeun ku obah jaman! Pilih !

Cag Heula ……. Urang sampeur jaga.(Rakean)


Disarikan dari berbagai sumber.

Kamis, 13 Mei 2010

ayam bakar kecap

Posted on Mei 17, 2008 by dewipadi

ayam bakar kecap Bahan:
8 buah sayap ayam
1 sendok makan air asam jawa
2 sendok teh garam
1 sendok teh air jerruk nipis
200 ml air
50 ml kecap manis
2 sendok makan minyak untuk menumis

Bumbu halus:
5 buah cabai merah
8 butir bawang merah
2 siung bawang putih
4 butir kemiri
1/2 sendok teh merica
1/2 sendok teh garam

Cara membuat:

1. Lumuri ayam dengan air asam jawa, air jeruk nipis dan garam selama 15 menit.
2. Tumis bumbu halus sampai matang.
3. Masukkan ayam dan aduk hingga berubah warna. Tuangkan air dan kecap, aduk sampai bumbu meresap.
4. Bakar ayam dan bumbu di bara api hingga harum.

Tip: Ayam sebaiknya dibakar menjelang disajikan. Jaga jarak ayam agar tidak terlalu dekat dengan api agar ayam tidak menjadi hitam.

Sumber: Sedap Sekejap (gambar dan resep)

DIarsipkan di bawah: Ayam, Ayam Bakar/Panggan

sangu tutug oncom

Posted on April 13, 2008 by dewipadi

sangu tutug oncom Bahan:
2 sendok makan minyak
Garam, bumbu penyedap secukupnya, jika suka
1 potong oncom bungkil
Kacang tanah, kukus, pecah-pecahkan

2 buah jeruk limo/air asam jawa
4 piring nasi hangat
Bumbu halus:
4 butir bawang merah
4 potong kencur
1/2 sendok teh terasi
1 buah cabai merah, buang biji

Pelengkap:
Emping goreng, tempe goreng, sambal terasi, lalap selada, tomat, mentimun, kemangi dll

Cara membuat:

1. Panaskan minyak. Tumis bumbu halus sampai harum.
2. Masukkan garam, penyedap. oncom, kacang tanah kukus, air jeruk limo. Aduk-aduk. Angkat.

Cara menghidangkan:
Nasi dicampur dengan sambal oncom. Enak dimakan panas-panas atau sajikan hangat dengan pelengkap.

DIarsipkan di bawah: Khas Sunda, Nas

oncom leunca

Oncom Leunca
Posted on April 13, 2008 by dewipadi

oncom leunca Bahan:
1 sendok makan minyak
2 siung bawang putih, iris-iris
5 butir bawang merah, iris-iris
1 buah cabai merah, iris halus

250 gram oncom, hancurkan kasar
1 gelas air
Garam, gula, air asam secukupnya
3 cm lengkuas, memarkan
4 lembar daun jeruk purut
Bumbu penyedap secukupnya, jika suka
250 gram leunca
3 genggam daun kemangi, petik-petik
Cabai rawit sesuai selera

Cara membuat:

1. Panaskan minyak. Tumis bawang cabai sampai harum.
2. Masukkan oncom, garam, gula, air asam, lengkuas, daun jeruk, bumbu penyedap. Masak. aduk-aduk.
3. Masukkan leunca. Aduk-aduk.
4. Masukkan kemangi, cabai rawit. Aduk-aduk. Angkat.

DIarsipkan di bawah: Khas Sunda

sambal oncom

Posted on April 13, 2008 by dewipadi

Sambal oncom Bahan:
4 butir bawang merah, bakar
2 buah cabai merah
Cabai rawit sesuai selera
5 cm kencur

Garam, gula secukupnya
Air jeruk limau secukupnya
200 gram oncom bakar
2 genggam kemangi

Cara membuat:

1. Haluskan bawang, cabai, kencur, garam, gula.
2. Masukkan air jeruk limau, oncom bakar. Beri air matang sedikit.
3. Masukkan kemangi. Angkat.

tumis kangkung oncom

Tumis Kangkung Oncom
Posted on April 13, 2008 by dewipadi

Tumis kangkung oncom Bahan:
2 sendok makan minyak.
3 siung bawang putih, iris halus
5 butir bawang merah, iris halus
200 gram oncom.

250 gram kangkung, potong-potong
1/2 gelas air
Garam, gula secukupnya

Cara membuat:

1. Panaskan minyak. Tumis bawang, cabai sampai layu.
2. Masukkan oncom. Aduk-aduk.
3. Masukkan kangkung, air, garam, gula. Masak. Aduk-aduk. Segera angkat