Rabu, 02 Juni 2010

SYEKH HAJI ABDUL MUHYI

Kanjeng Syekh Abdul Muhyi (Pamijahan Tasikmalaya) * Eyang Siti Fatimah (Cibiuk, Leuwigoong Garut) * Embah Bangkerong (Gunung Karantjang) * Eyang Tjakra Dewa (Situ Lengkong, Pandjalu Ciamis) * Eyang Prabu Tadji Malela (Gunung Batara Guru) . 16. Sri Baduga Maharaja Prabu Wangi (Lingga Buana) – Kakek dr Sri Baduga Maharaja Siliwangi 17. Sri Prabu Dewa Naskala Ningrat Kencana (Ayahanda dr Prabu Siliwangi) 18. Hyang Makukuhun Wali Haji Sakti Galuh Pakuwon. Nama lengkapnya ialah Aminuddin Abdul Rauf bin Ali Al Selanjutnya, ia pergi menunaikan ibadah haji, dan dalam Ulakan (dari Pariaman, Sumatera Barat) dan Syekh Abdul Muhyi Kanjeng Syekh Abdul Muhyi (Pamijahan Tasikmalaya) Eyang Siti Fatimah (Cibiuk, Leuwigoong Garut) Embah Bangkerong (Gunung Karantjang) Eyang Tjakra Dewa (Situ Lengkong, Pandjalu Ciamis) Eyang Prabu Tadji Malela (Gunung Batara Guru) . subang dimakamkan di Bukit Pasir Gajah Majalaya Cikundul beserta sanak saudara dan keturunan2 beliau termasuk Camat Cikalong Pertama dan Cicitnya yang Pendiri Silat Cikalong Eyang Mama Haji Ibrahim Djajaperbata Bin Dalem Aom Rajadiradja. Oleh Abdul Hadi W. M. Jawa Timur adalah propinsi tempat saduran karya penyair Parsi terkenal abad ke-13 M, Syekh Sa guru-gurunya serta perjalanannya menunaikan ibadah haji ke Syekh Haji Abdul Muhyi; Kesultanan Cirebon; Analisis Historis Tentang Sunan Gunung Djati; Perilaku Politik Orang Sunda; Haji Hasan Mustapa; Klikan PinunjulVaksin Meningitis Haji: Halal atau Haram; TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid; Tgk H Abdul Aziz Bin Shaleh, Pejuang untuk Dayah; Syekh Yasin al-Padangi; Syekh Haji MuhyiKhusus mengenai maqam para wali dan penyebar Islam di tanah Pasundan adalah termasuk cukup banyak seperti Syeikh Abdul Muhyi (Tasikmalaya), Sunan Rahmat (Garut), Eyang Papak (Garut), Syeikh Jafar Sidik (Garut), Sunan Mansyur (Pandeglang), dan Syeikh . Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa yang pertama sukses menyebarkan agama Islam di tatar Sunda adalah Pangeran Cakrabuana atau Walangsungsang atau Ki Samadullah atau Haji Abdullah Iman.
Muhyi al-din al-Arbili, of which various acted under instructions from a certain Haji Sawangan kana wawacan layang Syekh Abdul Qodir Jaelani.Sejarah Perjuangan Syekh Haji Abdul Muhyi Waliyullah Pamijahan: Grafiana Offset. Krauss, W. 1995. An Enigmatic Saint: Sheykh Abdulmuhyi of Pamijahan (1640-1715).Haji Palopo and the propagation of the Khalwatiyya 1987 Syekh Yusuf Makasar; Riwayat Afandi Qirbas (Qarabash), Khair ad-Din al-Kharqani, Muhyi ad Dalam kitab `martabat tujuh` baik yang dikarang oleh Syeh Abdul Muhyi maupun karya Haji Hasan Mustapa yang merupakan saduran karya penyair Parsi terkenal abad ke-13 M, Syekh Kangjeng Shaykh Haji Abdul Muhyi, aku Syekh Abdul Muhyi to return straightway to Geresik and to withdraw to a cave in which Syekh Haji Abdul Qadir had been
Di sini Syeikh Haji Abdul Muhyi mendirikan masjid tempat ia memberikan pengajian untuk mendidik para kader yang dapat membantunya menyebarkan agama Islam lebih jauh ke bagian selatan Jawa Barat. Setelah empat tahun menetap di Lebaksiuh, didirikan oleh Syekh Abdullah Asy-Syattar, dikembangkan di Indonesia mula-mula oleh Syekh Abdur Rauf Singkel, dan menyebar ke Jawa Barat karena peranan Syekh Haji Abdul Muhyi, salah seorang murid Syekh Abdur Rauf Singkel. Di sini (di sela-sela gerilya menghadapi tentara Belanda yang didukung oleh Sultan Haji) Syekh Yusuf sempat memberikan kenang-kenangan sebuah kitab tasawuf kepada Syekh Abdul Muhyi Pamijahan. Ada dua alasan mengapa keduanya begitu akrab
Nama lengkapnya ialah Aminuddin Abdul Rauf bin Ali Al Selanjutnya, ia pergi menunaikan ibadah haji, dan dalam dari Pariaman, Sumatera Barat) dan Syekh Abdul Muhyi Pamijahan (dari
Abdul Muhyi, Syeikh Haji (Mataram, Lombok, 1071 H/1650 M-Pamijahan, Bantarkalong, Tasikmalaya, Jawa Barat 1151 H/1730 M). Ulama tarekat Syattariah, penyebar agama Islam di Jawa Barat bagian selatan. Karena dipandang sebagai wali,
Salah satu obyek wisata religius di Tatar Sunda yang banyak diziarahi orang adalah makam Syekh Haji Abdul Muhyi. Makam ini terletak di Desa Pamijahan, Kecamatan Bantarkalong, 65 kilometer arah selatan dari pusat kota Tasikmalaya.
Syeikh Haji Abdul Muhyi adalah salah seorang keturunan bangsawan. Ayahnya bernama Sembah Lebe Warta Kusumah, adalah keturunan raja Galuh (Pajajaran). Abdul Muhyi lahir di Mataram, Lombok, Nusa Tenggara Barat, pada 1071 H/1660 M dan Demikian pula, ziarah ke makam Syekh Abdul Muhyi dan dilanjutkan dengan penerebotan gua Saparwadi, dianggap ekivalen dengan pergi haji ke Mekkah. Anggapan ini direpresentasikan oleh tingkat keistimewaannya dalam penetrasi gua Saparwadi.

Read more: http://www.2lisan.com/readmore/SYEKH+HAJI+ABDUL+MUHYI#ixzz0pgTv3svk
Under Creative Commons License: Attribution Non-Commercial No Derivatives

silsilah sultan hasanuddin

SYARIF HIDAYATULLAH - SUNAN GUNUNG JATI Berputera :
1. Ratu Ayu Pembayun. 4. Maulana Hasanuddin
2. Pangeran Pasarean 5. Pangeran Bratakelana
3. Pangeran Jaya Lelana 6. Ratu Wianon
7. Pangeran Turusmi
PANGERAN HASANUDDIN - PANEMBAHAN SUROSOWAN(1552-1570) Berputera :
1. Ratu Pembayu 8. Ratu Keben
2. Pangeran Yusuf 9. Ratu Terpenter
3. Pangeran Arya Japara 10. Ratu Biru
4. Pangeran Suniararas 11. Ratu Ayu Arsanengah
5. Pangeran Pajajara 12. Pangeran Pajajaran Wado
6. Pangeran Pringgalaya 13. Tumenggung Wilatikta
7. Pangeran Sabrang LorPangeran 14. Ratu Ayu Kamudarage
15. Pangeran Sabrang Wetan
MAULANA YUSUF PANEMBAHAN PAKALANGAN GEDE(1570-1580) Berputra :
1. Pangeran Arya Upapati 8. Ratu Rangga
2. Pangeran Arya Adikara 9. Ratu Ayu Wiyos
3. Pangeran Arya Mandalika 10. Ratu Manis
4. Pangeran Arya Ranamanggala 11. Pangeran Manduraraja
5. Pangeran Arya Seminingrat 12. Pangeran widara
6. Ratu Demang 13. Ratu Belimbing
7. Ratu Pecatanda 14. Maulana Muhammad
MAULANA MUHAMMAD PANGERAN RATU ING BANTEN(1580-1596)Berputra :
1. Pangeran Abdul Kadir
SULTAN ABUL MAFAKHIR MAHMUD 'ABDUL KADIR KENARI(1596-1651)Berputra :
1. Sultan 'Abdul Maali Ahmad Kenari(Putra Mahkota) 19. Pangeran Arya Wirasuta
2. Ratu Dewi 20. Ratu Gading20.
3. Ratu Ayu 21. Ratu Pandan
4. Pangeran Arya Banten 22. Pangeran Wirasmara
5. Ratu Mirah 23. Ratu Sandi
6. Pangeran Sudamanggala 24. Pangeran Arya Jayaningrat
7. Pangeran Ranamanggala 25. Ratu Citra
8. Ratu Belimbing 26. Pangeran Arya Adiwangsa
9. Ratu Gedong 27. Pangeran Arya Sutakusuma
10. Pangeran Arya Maduraja 28. Pangeran Arya Jayasantika
11. Pangeran Kidul 29. Ratu Hafsah
12. Ratu Dalem 30. Ratu Pojok
13. Ratu Lor 31. Ratu Pacar
14. Pangeran Seminingrat 32. Ratu Bangsal
15. Ratu Kidul 33. Ratu Salamah
16. Pangeran Arya Wiratmaka 34. Ratu Ratmala
17. Pangeran Arya Danuwangsa 35. Ratu Hasanah
18. Pangeran Arya Prabangsa 36. Ratu Husaerah
37. Ratu Kelumpuk
38. Ratu Jiput
39. Ratu Wuragil
PUTRA MAHKOTA SULTAN 'ABDUL MA'ALI AHMAD, Berputera:
1. Abul Fath Abdul Fattah 8. Pangeran Arya Kidul
2. Ratu Panenggak 9. Ratu Tinumpuk
3. Ratu Nengah 10. Ratu Inten
4. Pangeran Arya Elor 11. Pangeran Arya Dipanegara
5. Ratu Wijil 12. Pangeran Arya Ardikusuma
6. Ratu Puspita 13. Pangeran Arya Kulon
7. Pangeran Arya Ewaraja 14. Pangeran Arya Wetan
15. Ratu Ayu Ingalengkadipura
SULTAN AGENG TIRTAYASA -'ABUL FATH 'ABDUL FATTAH(1651-1672)Berputra :
1. Sultan Haji 16. Tubagus Muhammad 'Athif
2. Pangeran Arya 'abdul 'Alim 17. Tubagus Abdul
3. Pangeran Arya Ingayudadipura 18. Ratu Raja Mirah
4. Pangeran Arya Purbaya 19. Ratu Ayu
5. Pangeran Sugiri 20. Ratu Kidul
6. Tubagus Rajasuta 21. Ratu Marta
7. Tubagus Rajaputra 22. Ratu Adi
8. Tubagus Husaen 23. Ratu Ummu
9. Raden Mandaraka 24. Ratu Hadijah
10. Raden Saleh 25. Ratu Habibah
11. Raden Rum 26. Ratu Fatimah
12. Raden Mesir 27. Ratu Asyiqoh
13. Raden Muhammad 28. Ratu Nasibah
14. Raden Muhsin 29. Tubagus Kulon
15. Tubagus Wetan
SULTAN ABU NASR ABDUL KAHHAR - SULTAN HAJI (1672-1687) Berputra :
1. Sultan Abdul Fadhl 6. Ratu Muhammad Alim
2. Sultan Abul Mahasin 7. Ratu Rohimah
3. Pangeran Muhammad Thahir 8. Ratu Hamimah
4. Pangeran Fadhludin 9. Pangeran Ksatrian
5. Pangeran Ja'farrudin 10. Ratu Mumbay (Ratu Bombay)
SULTAN ABUDUL FADHL (1687-1690) Berputra :
- Tidak Memiliki Putera
SULTAN ABUL MAHASIN ZAINUL ABIDIN(1690-1733 ) Berputra :
1. Sultan Muhammad Syifa 31. Raden Putera
2. Sultan Muhammad Wasi' 32. Ratu Halimah
3. Pangeran Yusuf 33. Tubagus Sahib
4. Pangeran Muhammad Shaleh 34. Ratu Sa'idah
5. Ratu Samiyah 35. Ratu Satijah
6. Ratu Komariyah 36. Ratu 'Adawiyah
7. Pangeran Tumenggung 37. Tubagus Syarifuddin
8. Pangeran Ardikusuma 38. Ratu 'Afiyah Ratnaningrat
9. Pangeran Anom Mohammad Nuh 39. Tubagus Jamil
10. Ratu Fatimah Putra 40. Tubagus Sa'jan
11. Ratu Badriyah 41. Tubagus Haji
12. Pangeran Manduranagara 42. Ratu Thoyibah
13. Pangeran Jaya Sentika 43. Ratu Khairiyah Kumudaningrat
14. Ratu Jabariyah 44. Pangeran Rajaningrat
15. Pangeran Abu Hassan 45. Tubagus Jahidi
16. Pangeran Dipati Banten 46. Tubagus Abdul Aziz
17. Pangeran Ariya 47. Pangeran Rajasantika
18. Raden Nasut 48. Tubagus Kalamudin
19. Raden Maksaruddin 49. Ratu SIti Sa'ban Kusumaningrat
20. Pangeran Dipakusuma 50. Tubagus Abunasir
21. Ratu Afifah 51. Raden Darmakusuma
22. Ratu Siti Adirah 52. Raden Hamid
23. Ratu Safiqoh 53. Ratu Sifah
24. Tubagus Wirakusuma 54. Ratu Minah
25. Tubagus Abdurrahman 55. Ratu 'Azizah
26. Tubagus Mahaim 56. Ratu Sehah
27. Raden Rauf 57. Ratu Suba/Ruba
28. Tubagus Abdul Jalal 58. Tubagus Muhammad Said (Pg. Natabaya)
29. Ratu Hayati
30. Ratu Muhibbah
SULTAN MUHAMMAD SYIFA' ZAINUL ARIFIN (1733-1750) Berputra :
1.Sultan Muhammad 'Arif 7. Ratu Sa'diyah
2. Ratu Ayu 8. Ratu Halimah
3. Tubagus Hasannudin 9. Tubagus Abu Khaer
4. Raden Raja Pangeran Rajasantika 10. Ratu Hayati
5. Pangeran Muhammad Rajasantika 11. Tubagus Muhammad Shaleh
6. Ratu 'Afiyah
SULTAN SYARIFUDDIN ARTU WAKIL(1750-1752 )
- Tidak Berputera
SULTAN MUHAMMAD WASI' ZAINUL 'ALIMIN(1752-1753)
- Tidak Berputera
SULTAN MUHAMMAD 'ARIF ZAINUL ASYIKIN(1753-1773) Berputra :
1. Sultan Abul Mafakhir Muhammad Aliyudin 4. Pangeran Suralaya
2. Sultan Muhyiddin Zainusholiohin 5. Pangeran Suramanggala
3 . Pangeran Manggala
SULTAN ABUL MAFAKHIR MUHAMMAD ALIYUDDIN(1773-1799) Berputra :
1. Sultan Muhammad Ishaq Zainul Muttaqin 5. Pangeran Musa
2. Sultan Agilludin (Sultan Aliyuddin II) 6. Pangeran Yali
3. Pangeran Darma 7. Pangeran Ahmad
4. Pangeran Muhammad Abbas
SULTAN MUHYIDDIN ZAINUSHOLIHIN(1799-1801) Berputra :
1. Sultan Muhammad Shafiuddin
Sultan Muhammad Ishaq Zainul Muttaqin (1801-1802)
Sultan Wakil Pangeran Natawijaya (1802-1803)
Sultan Agilludin (Sultan Aliyuddin II) (1803-1808)
Sultan Wakil Pangeran Suramanggala (1808-1809)
Sultan Muhammad Syafiuddin (1809-1813)
Sultan Muhammad Rafiuddin (1813-1820)

Minggu, 30 Mei 2010

leluhur banten

KEBUYUTAN BANTEN

1. PARABU DEWARATU PULO PANAITAN
2. PRABU LANGLANG BUANA GUNUNG LOR PULA SARI
3. PRABU MUDING KALANGON PUNCAK MANIK GUNUNG LOR PULASARI
4. PRABU SEDASAKTI TAJO POJOK
5. PRABU MANDITI GUNUNG KARANG
6. PRABU BANGKALENG CANGKANG
7. NYAIMAS RATU WIDARA PUTIH SERAM TENGAH LAUTAN
8. NYAIMAS DJONG
9. KYAI AGU DJU
10. INDRA KUMALA GUNUNG KARANG PEPITU PAKUAN
11. MANIK KUMALA SUNGAI CIUJUNG

LELUHUR BANTEN

PANEMBAHAN SABAKINGKING RATU DJAYA CHASANUDDIN BIN SYARIEF HIDAYATULLOH MACHDUM GUNUNG DJATI (CIREBON) Beristri dengan DEWI SITI FATIMAH binti RADEN CHASAN ABIL FATTACH SURYA ALAM ZAINIAL ABIDIN GELAGAH WANGI DEMAK MEMPUNYAI ANAK :

1. NYAIMAS RATU PEMBAYUN DIPANG UTARA BLORA
2. NYAIMAS RATU SARANENGAH JAMBI
3. NYAIMAS RATU KAMUDARAGI PALEMBANG
4. PANGERAN JUPRIE RATU JEPARA
5. PANGERAN PRINGGALAYA RATU BETAWI
6. PANGERAN PEJAJARAN RATU BOGOR
7. PANEMBAHAN PEKALONGAN MAULANA YUSUF RATU BANTEN

SULTHON MUCHAMMAD SABAKINGKING RATU BANTEN BERANAK CUCU :

1. SULTHON ABUL MUFAQIR ‘ABDUL QODIR KENARI
2. SULTHON ABUL MA’ANALI ACHMAD KENARI
3. SULTHON AGUNG ABUL FATEHI ABDUL FATTAH TIRTAYASA
4. SULTHON ABUNNASRI MAULANA MANSUR ABDUL QOHHAR CIKADUEUN
5. SULTHON ABUL FADLOLI
6. SULTHON ABUL MAHASIN MA’SUM
7. SULTHON ABDUL FATTAH MUHAMMAD SYIFA ZAINUL ‘ARIFIN
8. SULTHON SYARIFUDDIN RATU WAKIL MUHAMMAD WASI’
9. SULTHON ZAINUL ‘ASIKIN
10. SULTHON ABDUL MAFAQIR MUHAMMAD ALIYUDIN AWWAL
11. SULTHON ABDUL FATTAH MUHAMMAD MUHYIDIN ZAINUL SOLIHIN
12. SULTHON MUHAMMAD ISHAQ ZAINUL MUTTAQIN
13. SULTHON WAKIL PANGERAN NATAWIJAYA
14. SULTHON MUHAMMAD AKILLUDI TSANI
15. SULTHON WAKIL PANGERAN SURAMENGGALA
16. SULTHON MUHAMMAD SHOFIYUDIN
17. SULTHON MUHAMMAD ROFI-UDDA (DIASINGKAN DISURABAYA)

SEJARAH PERGURUAN PARAWALI TANAH BANTEN

1. SYEH MUHAMMAD SHOLEH GUNUNG SANTRI CILEGON
2. SYEH MUHAMMAD SHIHIB TAGAL PAPA MENGGER
3. SYEH ABDUL RO’UF PARAJAGATI CINGENGE
4. SYEH ABDUL GHANI MENES
5. SYEH MAHDI CARINGIN LABUAN
6. SYEH ABDURROHMAN ASNAWI CARINGIN LABUAN
7. SYEH WALI DAWUD CINGINDANG LABUAN
8. SYEH KIYAI MACHDUM ABDUL DJALIL KALIMAH BARRONI GUNUNG RAMA SUKOWATI LABUAN
9. SYEH CINDRAWULUNG GUNUNG SINDUR TANGERANG
10. SYEH HAJI KAISAN
11. SYEH HAJI SILAIMAN GUNUNG SINDUR
12. SYEH KANJENG KYAI DALEM MUSTOFA GUNUNG SINDUR
13. SYEH KYAI BAGUS ATIK SULAIMAN QHOLIQ SERPONG

makam kh.abdul fattah(mbah beji)

Terumbu, Banten

Silat Banten Aliran Terumbu
Oleh : Nasrudin Attijani
Kiyai Terumbu merupakan ulama besar Banten pada Abad 15 sebelum sultan Hasanudin menjadi sultan di Kerajaan Banten dan pada masa tersebut kerjaan Banten belum menjadi kerajaan islam dan beliau bermukim di suatu kampung, yang mempunyai 5 orang anak dan anak pertama bernama Abdul Fatah.
Menjelang usia dewasa Abdul Fatah pernah mempunyai istri dari manusia dan usianya tidak lama dan Abdul Fatah ingin mencari seorang istri lagi tetapi tidak ada yang mau di peristri oleh Abdul Fatah karena takut usianya tidak lama seperti istri sebelumnya dan Abdul Fatah mengembara dari satu kampung ke kampung lainnya tapi belum juga mendapatkan jodoh. Akhirnya beliaupun menghadap kepada Ki Terumbu untuk meminta saran agar cepat mendapatkan seorang istri. Ki terumbupun memberikan saran, agar menjadi seorang Aulia Allah harus menikah dengan bangsa jin islam. Dan untuk menemukan jin islam perempuan pun tidak mudah untuk menemukanknya dan untuk menemukannya Ki Terumbu menyarankan untuk membuat suatu sumur pemandian di suatu kampung yang terdapat alasnya ( hutan ) yang tidak jamah oleh manusia apabila sumur tersebut digunakan mandi oleh jin perempuan islam, maka Abdul Fatah harus mengambil salah satu pakaian jin tersebut .
Beliaupun menjalankan saran Ki Terumbu untuk membuat suatu sumur pemandian pertama di kampung kasemen, tapi setelah beberapa waktu dilihat ternyata belum ada tanda – tanda adanya jin tersebut, Abdul Fatahpun membuat lagi sumur pemandian di kampung pontang sekarang tirtayasa tetapi belum juga berhasil. Dan akhirnya beliau meminta saran Ki Terumbu lagi dan Ki Terumbu menyarankan agar membuat sumur yang bernama sumur pulauan di kampung yang ditempati oleh ki terumbu kp. Padadaran ( sekarang kp. Terumbu ), setelah dibuat selang 3 hari akhirnya Abdul fatah menemukan tanda – tanda bahwa sumur pemandian yang di buatnya terlihat keruh pada malam hari dan keesokan harinya beliau mengintip sumur tersebut dan menemukan tiga jin perempuan sedang mandi pada sumur pemandian tersebut. Dan beliaupun mengambil salah satu baju jin perempuan tersebut, tetapi kedua jin yang lainnya langsung mengetahui dan langsung mengambil pakaiannya dan menghilang sedangkan jin perempuan yang satunya lagi masih ada di sumur pemandian tersebut tidak bisa menghilang karena pakaiannya dipegang oleh Abdul fatah dan di sembunyikan di lumbung pari agar tidak ditemukan oleh jin tersebut.
Dan Abdul Fatahpun langsung memberikan pakaian manusia untuk di kenakan oleh jin perempuan tersebut. Jin tersebut langsung dibawanya kerumah Ki Terumbu untuk langsung dinikahkan dengan wali hakim. Dan dinikahkan oleh ki terumbu dan ki terumbu memberi pesan bahwa kedua mempelai bisa hidup normal seperti manusia biasa dengan catatan jangan sampai istri Abdul Fatah mengenakan baju jinnya kembali, apabila mengenakannya akan langsung hilang. Dan Abdul Fatah pun mengikuti nasehat Ki Terumbu.

Hasil pernikahan ki beji dengan jin perempuan tersebut dikaruniai 3 orang anak diantaranya : anak pertama bernama Tanjung anom, anak kedua. bernama Kudup melati, anak ketiga bernama Dewi Rasa. Pada waktu syarif Hidayatullah akan rapat dewan walisongo membawa anaknya sultan hasanudin ( sebelum menjadi raja Kesultanan Banten ) kepada Ki Beji untuk dititipkan sementara syarif Hidayatullah Rapat dengan Walisongo di Demak beserta KH. Abdul Fatah ( Ki Beji).

Perjalanan menuju Demak memakan waktu 3 hari 3 malam untuk sampai lokasi Mesjid Demak dan pulangnya memakan waktu 3 hari 3 malam. Pada waktu perjalanan menuju Demak ada beberapa kejadian penting diantaranya :

1. Pada hari pertama perjalanan Ki Beji menemukan burung dara mati didepannya dan Ki Beji pun menangisi Burung dara tersebut dan berkata : ” andai saja ya Allah burung ini hidup dapat berguna bagi anak dan keluarganya”, dan seketika itupun Allah mengabulkan permintaan Ki Beji. Burung dara itupun langsung hidup dan berkata kepada Ki Beji : “ jika Ki Beji butuh pertolongan maka saya akan membantu Ki Beji dengan cara injak bumi 3 kali “ . dan Ki Beji pun mengiyakan permintaan Burung itu, dan burung tersebut langsung menghilang.
2. Pada hari kedua perjalanan Ki Beji menemukan belut putih mati didepannya dan Ki Beji pun menangisi belut putih tersebut dan berkata : ” andai saja ya Allah belut putih ini hidup dapat berguna bagi anak dan keluarganya”, dan seketika itupun Allah mengabulkan permintaan Ki Beji. belut putih itupun langsung hidup dan berkata kepada Ki Beji : “ jika Ki Beji butuh pertolongan maka saya akan membantu Ki Beji dengan cara injak bumi 3 kali “ . dan Ki Beji pun mengiyakan permintaan belut putih itu, dan belut putih tersebut langsung menghilang.
3. Pada hari kedua perjalanan Ki Beji menemukan lalat besar mati didepannya dan Ki Beji pun menangisi lalat besar tersebut dan berkata : ” andai saja ya Allah lalat besar ini hidup dapat berguna bagi anak dan keluarganya”, dan seketika itupun Allah mengabulkan permintaan Ki Beji. lalat besar itupun langsung hidup dan berkata kepada Ki Beji : “ jika Ki Beji butuh pertolongan maka saya akan membantu Ki Beji dengan cara injak bumi 3 kali “ . dan Ki Beji pun mengiyakan permintaan lalat besar itu, dan lalat besar tersebut langsung menghilang.
4. Pada malam terakhir perjalanan pulang menuju Kp. Terumbu Banten, Ki Beji menemukan Burung Garuda mati didepannya dan Ki Beji pun menangisi Garuda mati tersebut dan berkata : ” andai saja ya Allah Garuda mati ini hidup dapat berguna bagi anak dan keluarganya”, dan seketika itupun Allah mengabulkan permintaan Ki Beji. Burung Garuda itupun langsung hidup dan berkata kepada Ki Beji : “ jika Ki Beji butuh pertolongan maka saya akan membantu Ki Beji dengan cara injak bumi 3 kali “ . dan Ki Beji pun mengiyakan permintaan Garuda itu, dan Garuda tersebut langsung menghilang.

Sesampainya Ki Beji di rumahnya, beliau kaget karena mencari – cari istrinya tidak ada di rumah, dan Ki Beji langsung kerumahnya Kiyai Terumbu menanyakan keberadaan istrinya yang hilang. Ki terumbu mengingatkan kepada Ki Beji sebelum berangkat, agar kunci gudang ( lumbung ) tempat menyimpan baju jin istrinya agar tidak diberikan kepada istrinya Ki Beji, Ki besus ( penjaga rumah Ki Beji ) yang di amanati Ki Beji agar menjaga kunci tersebut tidak di berikan kepada siapapun termasuk istrinya. Ternyata ki besus hilaf akan tugasnya ketika itu ki besus tertidur ketika menjaga rumah dan tanpa disadari istri Ki Beji mencurinya dan langsung menghilang. Ki Beji seharusnya tahu isyarat pada waktu perjalanan pulang menemukan Burung garuda mati tersebut bisa membawa Ki Beji ke negeri Jin menurut Ki terumbu. Maka seketika itu Ki Beji langsung memanggil Garuda itu dan langsung datang, dan langsung membawa Ki Beji ke negeri jin tempat istrinya tinggal.

Sampailah Ki Beji ke negeri Jin dengan Garuda, di pintu gerbang Ki Beji menemukan penjaga negeri jin dan melarang manusia memasuki negerinya, tapi Ki Beji bersikeras akan membawa pulang ke dunia istrinya. Penjaga itupun mempersilahkan Ki Beji membawa istrinya dengan beberapa syarat :

1. Ki Beji dikasih keranjang untuk mengangsu air ke negeri jin. Dalam pikirannya beliau berpikir bagaimana mengangsu air dengan keranjang sedangkan keranjang itu bolong – bolong, dan beliaupun teringat pada belut putih yang hidup di air. Dan dengan bantuan belut putih itu Ki beji dapat mengangsu air dengan cara keranjang tersebut di lilit dengan tubuh belut putih tersebut.
2. Ki beji di suruh membawa kacang ijo sekarung dibuang oleh penjaga negeri jin ke dunia agar membawanya kembali utuh menjadi satu karung kembali. Dan Ki beji meminta bantuan kepada burung dara untuk memakan semua kacang yang bercecer dan memasukkan kembali ke karung untuk di bawa ke negeri jin
3. Ki Beji disuruh mencari istrinya berada sedangkan istana jin itu beratus lantai dan harus tahu dimana lokasi tampat istrinya berada. Ki Beji pun meminta bantuan kepada burung dara agar mencarikan lokasi dimana istrinya berada dan waktu itu burung dara itu langsung laporan ke Ki Beji bahwa sudah menemukan istrinya berada.
4. Setelah ketemu dimana istrinya berada, sekarang Ki Beji harus menemukan dimana istrinya sedangkan bangsa jin perempuan wajahnya sama mencapai ribuan. Ki Beji meminta bantuan lalat besar agar ditemukan keberadaan istrinya. Ki Bji menyuruh lalat tersebut menghinggapi wajah muka istrinya dan tebakan Ki Beji itu benar. Jin perempuan itu di Tanya oleh penjaga negeri jin, “ benar kamu sudah menikah dengan Ki Beji bangsa manusia?” dan jin tersebut mengiyakan perkataan Ki Beji maka di bawalah istrinya kembali ke kp. Terumbu dan menjalani hidup normal seperti manusia hingga mempunyai 3 orang anak ( Tanjung Anom, Kudup Melati, Dewi Rasa )

Julukan Ki beji karena beliau berhati besi atau beji yang membangkang pada kompeni dan tidak mau diusir oleh penjajah kompeni ( Belanda ) dari tanah kampung terumbu Banten. Masyarakat dan keturunan Ki Terumbu diajari ilmu silat dari anak – anak hingga dewasa untuk melawan penjajahan belanda hingga sekarang silat ini turun temurun masih terjaga kelestariannya di kampung terumbu, Kasemen serang. Pada keturunan ke 4 atau cicit dari H. Agus (anak ke 4 dari Ki Zunedil Qubro bin Ki Terumbu ) yaitu H. Mad sidiq mewarisi ilmu silat Bandrong dan mempunyai istri di pulo ampel bojonegara – Serang serta mengembangkannya aliran silat ini ke daerah cilegon dan sekitarnya untuk melawan penjajahan belanda dan jepang sedangkan M. Idris mewarisi ilmu silat terumbu dan beliau bermukim di kampung terumbu dalam pengembangannya aliran silat ini berkembang di daerah serang dan sekitarnya untuk melawan penjajahan belanda dan jepang.

Mukjizat / Kesaktian Keturunan Terumbu

Nyi jong mempunyai kesaktian sebuah kerudung, apabila di simpan di pohon maka akan ada lautan darah di tempat tersebut, karena pada waktu kompeni akan menyerbu kampong terumbu, beliau mengikatkan kerudungnya pada sebuah pohon dan kampung terumbu pun menjadi lautan darah dan pasukan kompenipun terkecoh oleh kekuatan dan kesaktian nyi jong dengan kerudungnya dan merekapun meninggalkan kampung terumbu.
Nyi Audah mempunyai umur yang panjang hingga 300 tahun.
H. Buang mempuyai kesaktian dapat mengalahkan macan siluman yang ada di benteng Jakarta sekarang menjadi lapangan benteng. Pada zaman VOC / kompeni menduduki sunda kelapa, setiap pasukannya melewati lapangan benteng selalu mati diterkam oleh macan siluman. Kompeni pun mengadakan sayembara hadiah kepada siapa saja yang yang dapat mengalahkan macan siluman itu akan dihadiahi tanah seluas 1 hektar, waktu itu H. Buang datang ke kompeni memakai dan membawa dagangan kacang pikulan. Kompeni tidak percaya akan penampilan pada H. Buang karena pakaianya sederhana tidak kelihatan seperti jawara, akhirnya H. Buangpun di terima untuk membunuh macan siluman yang ada di benteng, tak lama kemudian H. Buang dapat mengalahkan macan siluman itu dengan mudah. Setelah itu pasukan kompeni dapat melewati daerah benteng dengan aman dan menghadiahi beliau tanah yang dijanjikan.

Makam Karuhun Urang Sunda

Para Karuhun Urang Sunda yang kini hanya tinggal namanya yang kita kenang, bagi siapa saja yang suka ziarah ke makam para karuhun, disini saya berposting makam-makam para karuhun yang patut di ziarahi karena. Di bawah ini beberapa makam para karuhun-karuhun atau leluhur orang sunda :

* Pangeran Jayakarta (Rawamangun Jakarta)
* Eyang Prabu Kencana (Gunung Gede, Bogor )
* Syekh Jaenudin (Bantar Kalong)
* Syekh maulana Yusuf (Banten)
* Syekh hasanudin (Banten)
* Syekh Mansyur (Banten)
* Aki dan Nini Kair (Gang Karet Bogor)
* Eyang Dalem Darpa Nangga Asta (Tasikmalaya)
* Eyang Dalem Yuda Negara (Pamijahan Tasikmalaya)
* Prabu Naga Percona (Gunung Wangun Malangbong Garut)
* Raden Karta Singa (Bunarungkuo Gn Singkup Garut)
* Embah Braja Sakti (Cimuncang, Lewo Garut)
* Embah Wali Tangka Kusumah (Sempil, Limbangan garut)
* Prabu Sada Keling (Cibatu Garut)
* Prabu Siliwangi (Santjang 4 Ratu Padjadjaran
* Embah Liud (Bunarungkup, Cibatu Garut)
* Prabu Kian Santang (Godog Suci, garut)
* Embah Braja Mukti (Cimuncang, Lewo Garut)
* Embah Raden Djaenuloh (Saradan, Jawa Tengah)
* Kanjeng Syekh Abdul Muhyi (Pamijahan Tasikmalaya)
* Eyang Siti Fatimah (Cibiuk, Leuwigoong Garut)
* Embah Bangkerong (Gunung Karantjang)
* Eyang Tjakra Dewa (Situ Lengkong, Pandjalu Ciamis)
* Eyang Prabu Tadji Malela (Gunung Batara Guru)
* Prabu Langlang Buana (Padjagalan, Gunung Galunggung
* Eyang Hariang Kuning (Situ Lengkong Pandjalu Ciamis)Embah Dalem Salinggih (Cicadas, Limbangan Garut)
* Embah Wijaya Kusumah (Gunung Tumpeng Pelabuhan Ratu)
* Embah Sakti Barang (Sukaratu)
* Syekh Abdul Rojak Sahuna (Ujung Kulon Banten)
* Prabu Tjanar (Gunung Galunggung)
* Sigit Brodjojo (Pantai Indramayu)
* Embah Giwangkara (Djayabaya Ciamis)
* Embah Haji Puntjak (Gunung Galunggung)
* Dewi Tumetep (Gunung Pusaka Padang , Ciamis)
* Eyang Konang Hapa (Dayeuh Luhur, Sumedang)
* Embah Terong Peot (dayeuh Luhur, Sumedang)
* Embah Sayang Hawu (Dayeuh Luhur, Sumedang)
* Embah Djaya Perkasa (Dayeuh Luhur, Sumedang)
* Prabu Geusan Ulun (Dayeuh Luhur, Sumedang)
* Nyi Mas Ratu harisbaya (Dayeuh Luhur, Sumedang)
* Eyang Anggakusumahdilaga (Gunung Pusaka Padang Ciamis)
* Eyang Pandita Ratu Galuh Andjarsukaresi (Nangerang)
* Embah Buyut Hasyim (Tjibeo Suku Rawayan, Banten)
* Eyang mangkudjampana (Gunung Tjakrabuana, Malangbong Garut)
* Embah Purbawisesa (Tjigorowong, Tasikmalaya)
* Embah Kalidjaga Tedjakalana (Tjigorowong, Tasikmalaya)
* Embah Kihiang Bogor (Babakan Nyampai, Bogor )
* Aki Wibawa (Tjisepan, Tasikmalaya)
* Embah wali Mansyur (Tomo, Sumedang)
* Prabu Nagara Seah (Mesjid Agung Tasikmalaya)
* Sunan Rumenggang (Gunung Batara Guru)
* Embah Hadji Djaenudin (Gunung Tjikursi)
* Eyang Dahian bin Saerah (Gunung ringgeung, garut)
* Embah Giwangkarawang (Limbangan Garut)
* Nyi Mas Layangsari (Gunung Galunggung)
* Eyang Sunan Cipancar (Limbangan garut)
* Eyang Angkasa (Gunung Kendang, Pangalengan)
* Embah Kusumah (Gunung Kendang, Pangalengan)
* Eyang Puspa Ligar (Situ Lengkong, Panjalu Ciamis)
* Kimandjang (Kalapa 3, Basisir Kidul)
* Eyang Andjana Suryaningrat (Gunung Puntang Garut)
* Gagak Lumayung (Limbangan Garut)
* Sri Wulan (Batu Hiu, Pangandaran Ciamis)
* Eyang Kasepuhan (Talaga Sanghiang, Gunung Ciremai)
* Aki manggala (Gunung Bentang, Galunggung)
* Ki Adjar Santjang Padjadjaran (Gunung Bentang, Galunggung)
* Eyang Mandrakuaumah (Gunung Gelap Pameungpeuk, Garut)
* Embah Hadji Muhammad Pakis (Banten)
* Eyang Boros Anom (Situ Lengkong, Pandjalu Ciamis)
* Embah Raden Singakarta (Nangtung, Sumedang)
* Raden Rangga Aliamuta (Kamayangan, Lewo-Garut)
* Embah Dalem Kasep (Limbangan Garut)
* Eyang Imam Sulaeman (Gunung Gede, Tarogong)
* Embah Djaksa (Tadjursela, Wanaraja)
* Embah Wali Kiai Hadji Djafar Sidik (Tjibiuk, Garut)
* Eyang Hemarulloh (Situ Lengkong Pandjalu)
* Embah Dalem (Wewengkon, Tjibubut Sumedang
* Embah Bugis (Kontrak, Tjibubut Sumedang)
* Embah Sulton Malikul Akbar (Gunung Ringgeung Garut)
* Embah Dalem Kaum (Mesjid Limbangan Garut)
* Mamah Sepuh (Pesantrean Suralaya
* Mamah Kiai hadji Yusuf Todjiri (Wanaradja)
* Uyut demang (Tjikoneng Ciamis)
* Regregdjaya (Ragapulus)
* Kiai Layang Sari (Rantjaelat Kawali Ciamis)
* Embah Mangun Djaya (Kali Serayu, Banjarnrgara)
* Embah Panggung (Kamodjing)
* Embah Pangdjarahan (Kamodjing)
* Syekh Sukri (Pamukiran, Lewo Garut)
* Embah Dipamanggakusumah (Munjul, Cibubur)
* Aki Mandjana (Samodja, Kamayangan)
* Eyang Raksa Baya (Samodja, Kamayangan)
* Embah Dugal (Tjimunctjang (
* Embah Dalem Dardja (Tjikopo)
* Embah Djaengranggadisastra (Tjikopo)
* Nyi Mas Larasati (Tjikopo)
* Embah Dalem Warukut (Mundjul, Cibubur)
* Embah Djaya Sumanding (Sanding)
* Embah Mansur Wiranatakusumah (Sanding)
* Embah Djaga Alam (Tjileunyi)
* Sembah Dalaem Pangudaran (Tjikantjung Majalaya)
* Sembah Dalem Mataram (Tjipantjing)
* Eyang Nulinggih (Karamat Tjibesi, Subang)
* Embah Buyut Putih (Gunung Pangtapaan, Bukit Tunggul)
* Embah Ranggawangsa (Sukamerang, bandrek)
* Eyang Yaman (Tjikawedukan, Gunung Ringgeung Garut)
* Embah Gurangkentjana(Tjikawedukan, Gunung Ringgeung Garut)
* Embah Gadjah Putih (Tjikawedukan Gunung wangun)
* Ratu Siawu-awu (Gunung Gelap, pameungpeuk Sumedang)
* Embah Mangkunegara ( Cirebon )
* Embah Landros (Tjibiru Bandung)
* Eyang latif (Tjibiru Bandung)
* Eyang Penghulu (Tjibiru Bandung)
* Nyi Mas Entang Bandung (Tjibiru Bandung)
* Eyang Kilat (Tjibiru Bandung)
* Mamah Hadji Umar (Tjibiru Bandung)
* Mamah Hadji Soleh (Tjibiru Bandung)
* Mamah Hadji Ibrahim (Tjibiru Bandung)
* Uyut Sawi (Tjibiru Bandung)
* Darya binSalmasih (Tjibiru Bandung)
* Mmah Hadji Sapei (Tjibiru Bandung)
* Embah Hadji Sagara Mukti (Susunan Gunung Ringgeung)
* Eyang Istri (Susunan Gunung Ringgeung)
* Eyang Dewi Pangreyep (Gunung Pusaka Padang Garut)
* Ratu Ayu Sangmenapa (Galuh)
* Eyang Guru Adji panumbang (Tjilimus Gunung Sawal)
* Eyang Kusumah Adidinata (Tjilimus Gunung Sawal)
* Eyang Rengganis (Pangandaran Ciamis)
* Ki Nurba’in (Sayuran, Gunung Tjikursi)
* Buyut Dasi (Torowek Tjiawi)
* Embah Buyut Pelet (Djati Tudjuh Kadipaten)
* Embah Gabug (Marongge)
* Eyang Djayalaksana (Samodja)
* Nyi Mas Rundaykasih (Samodja)
* Nyi Mas Rambutkasih (Samodja)
* Eyang Sanghiang Bongbangkentjana (Ujung Sriwinangun)
* Eyang Adipati Wastukentjana (Situ Pandjalu Ciamis)
* Eyang Nila Kentjana (Situ Pandjalu, Ciamis)
* Eyang Hariangkentjana (Situ Pandjalu Ciamis)
* Embah Dalem Tjikundul (Mande Cianjur)
* Embah Dalem Suryakentjana (PantjanitiCianjur)
* Embah Keureu (Kutamaneuh Sukabumi)
* Ibu Mayang Sari (Nangerang Bandrek Garut)
* Eyang Prabu Widjayakusumah (Susunan Payung Bandrek Garut)
* Embah Sayid Kosim (Gunung Alung Rantjapaku)
* Embah Bang Sawita (Gunung Pabeasan Limbangan Garut)
* Uyut Manang Sanghiang (Banten)
* Eyang Ontjar (Nyampai Gunung Bungrangrang)
* Eyang Ranggalawe (Talaga Cirebon)
* Ibu Siti Hadji Djubaedah (Gunung Tjupu Banjar Ciamis)
* Mamah Sepuh ((Gunung Halu Tjililin Bandung )
* Embah Sangkan Hurip (Ciamis)
* Embah Wali Abdullah (Tjibalong Tasikmalaya)
* Mamah Abu (Pamidjahan Tasikmalaya)
* Embah Dalem Panungtung Hadji Putih Tunggang Larang Curug Emas (Tjadas Ngampar Sumedang)
* Raden AstuManggala (Djemah Sumedang)
* Embah Santiung (ujung Kulon Banten)
* Eyang Pandita (Nyalindung Sumedang)
* Embah Durdjana (Sumedang)
* Prabu Sampak Wadja (Gunung Galunggung Tasikmalaya)
* Nyi Mas Siti Rohimah/Ratu Liongtin (Jambi Sumatera)
* Eyang Parana (Kulur Tjipatujah, Tasikmalaya)
* Eyang Singa Watjana (Kulur Tjipatujah, Tasikmalaya)
* Eyang Santon (Kulur Tjipatujah, tasikmalaya)
* Eyang Entjim (Kulur Tjipatujah, Tasikmalaya)
* Eyang Dempul Wulung (Djaga Baya Ciamis)
* Eyang Dempul Walang (Djaga Baya Ciamis)
* Eyang Giwangkara (Djaga Baya Ciamis)
* Embah Wali Hasan (Tjikarang Bandrek, Lewo Garut)
* Embah Raden Widjaya Kusumah (Tjiawi Sumedang)
* Dalem Surya Atmaja (Sumedang)
* Eyang Rangga Wiranata (Sumedang)
* Eyang Mundinglaya Dikusumah (sangkan Djaya, Sumedang)
* Eyang Hadji Tjampaka (Tjikandang, Tjadas Ngampar Sumedang)
* Eyang Pangtjalikan (Gunung Ringgeung Garut)
* Eyang Singa Perbangsa (Karawang)
* Embah Djaga Laut (Pangandaran)
* Raden Ula-ula Djaya (Gunung Ringgeung Garut)
* Raden Balung Tunggal (Sangkan Djaya, Sumedang)
* sembah dalem wirasuta (Majalaya )
* Embah Raja Peduni (majalaya)
* Eyang santoan Qobul (Banjaran, bandung)
* Pangeran qudratulloh di gunung cabe / g. sunda pelabuhan ratu
* Prabu ciung wanara di belakang SMU 7 Bogor komplek Bantar jati
* Raden mbah jangkung kp. cilumayan – sisi cibereno , bayah – banten

Leluhur-leluhur dari pihak wanita. Yang ada di situs Medang Kamulan Ciamis dan Situs Medang Kamulan di Gunung Padang Cianjur

1. Ibu Sakti Pertiwi Gilang Gumilang Herang
2. Ibu Ratu Siti Dewi Hasta
3. Ibu Ratu Siti Dewi Banjaransari
4. Ibu Ratu Siti Dewi Pohaci
5. Ibu Ratu Siti Dewi Ratna Nastuna Larang Lancang Kamurang Galuh Pakuwon
6. Ibu Ratu Siti Dewi Cakrawati
7. Ibu Ratu Siti Dewi Sekar Jagat
8. Ibu Ratu Siti Dewi Niti Suari Sunan Ambu
9. Ibu Sakti Pertiwi Dewi Poerbasari
10. Ibu Ratu Siti Dewi Cempo Kemuning
11. Ibu Ratu Siti Dewi Ayu Jendrat
12. Eyang Sepuh Tunggal Dewa Sinuhun Rama Agung
13. Eyang Sepuh Prabu Manikmaya
14. Eyang Sepuh Prabu Ismaya
15. Syech Sulton Jannawiyah
16. Sri Baduga Maharaja Prabu Wangi (Lingga Buana) – Kakek dr Sri Baduga Maharaja Siliwangi
17. Sri Prabu Dewa Naskala Ningrat Kencana (Ayahanda dr Prabu Siliwangi)
18. Hyang Makukuhun Wali Haji Sakti Galuh Pakuwon.

Sabtu, 29 Mei 2010

sahadat buhun

ahadat Buhun
Dalam uraian Jangjawokan sebagaimana yang ditulis terdahulu diuraikan, bahwa dalam sastra sunda lisan jangjawokan atau ajimantra ditemukan pula ada yang menyebut-nyebut nama Allah, sebagaimana dibawah ini. Sehingga menurut Wahyu Wibisana menimbulkan pertanyaan. Apakah ajimantra semacam ini dapat dikatagorikan dalam do’a ?.

Tentunya kita jangan terburu-buru memvonis untuk menyimpulkan ajimantra atau jangjawokan sebagai suatu laku yang tidak bisa dikatagorikan doa, hanya karena diasumsikan :”tidak ditujukan kepada Tuhan, melainkan diperintahkan kepada yang gaib, dalam katagori makhluk, bukan yang maha Gaib (Tuhan)”. Saya pikir paradigma inipun masih menggelitikan untuk diperdebatkan.

Pertama, jika jangjawokan banyak digunakan masyarakat Sunda Buhun, alangkah lebih bijaksananya jika dilakukan pendekatan melalui paradigma tentang sejarah diri, terutama yang menyangkut unsur raga wadag ; batin ; serta ingsun sebagai drive raga dan bathin. Kedua, pengkatagorian dan pemilahan jangjawokan dengan do’a tidak bisa hanya karena adanya unsur kata-kata yang lajim digunakan oleh urang sunda berikutnya. Unsur kata tersebut timbul sebagai negasi, atau pemantapan agar apa yang dilakukannya dapat dikabulkan oleh yang maha mengabulkan. Pemilahan bisa mungkin terjadi jika jangjawokan dikatagorikan sebagai bentuk puisi arkais, sedang do’a bukan.

Kemudian, jika hanya karena tidak menggunakan unsur kata tadi tidak dapat dikatagorikan sebagai do’a, maka bisa saja ditafsirkan, bahwa urang sunda buhun tidak pernah berdo’a. Mengingat pada pra islam masyarakat di tatar Sunda tentunya tidak menggunakan kata Allah, bahkan sampai saat ini masih banyak urang sunda yang menyebut Allah dengan kata Gusti Nu Maha Suci ; Gusti Nu Maha Rokhman ; Hyang Widi ; Nu Murbeng sakabeh Alam. Dalam paradigmana itu adalah nama-nama Allah (khaliq), bukan makhluk. Selanjutnya mungkin juga dapat diperbanding-bandingkan tentang cita-cita urang sunda buhun, : “yakni manggihkeun hyang tanpa balik ka dewa” – bertemu dengan Hyang bukan Dewa.

Mungkin yang perlu diteliti lebih jauh adalah penggunaannya. Jangjawokan oleh masyarakat Sunda Buhun atau para penganut yang sampai saat ini masih ada. Jika saja dilakukan oleh urang sunda yang tidak menganut ageman buhun, itupun tidak harus pula disebutkan sebagai suatu penyimpangan. Bukankah do’a dapat dipanjatkan dengan bahas apa saja, atau lebih tepatnya, do’a bagi manusia dapat dipanjatkan sesuai dengan yang dimengertinya, atau bahasa hatinya. Ditujukan kapada Tuhan yang maha mengabulkan (Kecuali bagi ummat Islam tentunya hanya shalat yang memang harus menggunakan bahasa aslinya).

Mudah mudahan tulisan ini ada yang membahas, sehingga dikelak kemudian hari dapat terungkap budaya dan spiritualitasnya secara utuh. Selamat membaca.


pun,
Rakean.

===

Sadat Islam
Sadat islam aya dua,
Ngisalmkeun badan kalawan nyawa,
Dat hurip tanggal iman,
Ngimankeun badan sakujur,
Hudang subuh banyu wulu
Parentah kanjeng Gusti,
Nabi Adam pangnyampurnakeun badan awaking.
Sir suci,
Sir Adam,
Sir Muhammad,
Muhammad jala lalana
Nu aya di saluhuring alam.

Sahadat Sunda
Ashadu sahadat Sunda
Sapapada jeung pandita
Neang indung nu kabduhu
Neang Bapa Hidayyatullah
Nu mayungan sajagat,
Neangan Pangeran Kudratullah
Laillahhailloh Muhammad Rasullah

Sahadat Jawa
Apa pengot surat Raden Angga Keling
Pangeran Angga Warulang
Ratu suluk ajitullah
Pengaersa sa Nusa Jawa
Puputrane Ulis Akin
Kajayak ngarurug Pajajaran
Tanggal ping opat welas
Nukila di kalimati sahadati
Isun weruh umat Allah dikang Selam

Sahadat Bawa
Ashadu Sahadat Bawa,
Iman jati lulungguhan pulo nyawa,
Roh nyawa intening hurip,
Hurip ieu keuna ku gingsir
Langgeng teu keuna ku owah,
Lailahileloh Muhamad Rasulullah

Sahadat Taraju
Ashadu sahadat taraju
Idin imatan warohmatan
Walidatan, wasiratan,
Titikaptan minha yah u
Ya Allah, ya Rasulullah.

Sahadat Sayang
Ashadu sahadat sayang,
Kuriling ka bale suci
Cat mancet ka jagat mulya,
Tetesen ditetes ku Allah
Ya hu, ya Allah, ya Rasulullah

Sahadat sari
Ashadu sahadat sari,
Gegedah wadah humenggang,
Ngebur-ngebur lain ratu,
Ngebyar-ngebar cahyaning pangeran,
Payung tilu nungku-nungku,
Payung emas lingga jati,
Kakayon sabar darana,
Teteras sekar cendana.

Sahadat Adam
Ashadu Sahadat Adam,
Sah Adam,
Ashadu nur putih alip tunggal,
Iman eling ka mulya kang kadim,
Lailahailaleloh Muhammad Rasululah.

Sahadat Barjah
Ashadu sahadat barjah,
Enggon Allah sapatemon,
Sang Mutiara Putih calik di iman,
Patala artu miski aja ningratullah,
Titpan gedong kencana,
Nama Allah Rasulullah,
Lailaha ilaloh.

Sahadat Hayun
Asahadu sahadat hayun,
Hayun-hayun hurip kang hurip,
Cicipta Gusti Kang waras,
Cicipta Allah cipta rosa kang kawasa,
Ceg badan wujuding Allah Rasulullah
Nanya badan, ceg badan wujuding manusa.

Sahadat Siluman
Heuah balung nangtung tulang
Tulang muntang. Colok rasa ku buana,
Deg kimili rasa,
Aing nyaho ratu sia,
Anak sia ratu Siti,
Ambu sia ratu neluh ti Galunggung,
Bapa sia pangulu jin.

Sahadat Mustakarayunan
Asahadu mustakarayunan
Sahadat permana tunggal,
Selam lahir, selam bathin,
Selam pinarengin kersa,
Sing waspada kanu ngayuga bumi alam
Aya nu saurang, aya nu sorangan,
Aing waspada kepada Allah,
Allah waspada ka kaula.
Tenget gemereng-ereng,
Raraga gemet ruhiat,
Terusning Allah terusning rasa
Pani-pani langgeng tetep,
Langgeng agama Islam.

Sahadat Ganda
Ashadu ganda ingsun,
Turun saking sawarega,
Ningal ganda ningsunan sampurna,
Ganda ningsunan handiri,
Kamar langit karaton.


Mangga urang korehan deui(***)





Sumber Sahadat :

SASTRA LAGU : Mencarari Larak dan Lirik, Wahyu Wibasana, Dalam Lima Abad Sastra Sunda, Geger Sunten, 2000.

Ajimantra atawa Jangjawokan

Seureuh seuri
Pinang nanggeng
Apuna galugaet angen
Gambirna pamuket angen
Bakona galuge sari
Coh nyay, parupat nyay, loeko lenyay
Cucunduking aing taruk harendong
Cucunduking aing taruk paku hurang
Keuna asihan awaking
Asihan si leuget teureup


Kalimat diatas merupakan jangjawokan yang biasa digunakan urang sunda buhun ketika hendak nyepah (nyeupah), digerenteskeun atau di ucapkan dalam hati. Jangjawokan digunakan pada setiap kali kegiatan, bahkan menjadi tertib hidup. Misalnya untuk bergaul, bekerja sehari-hari, dan berdoa. Laku demikian dimungkinkan karena faktor masyarakat Sunda yang agraris selalu menjaga harmonisasi dengan alam. Konon pula seluruh nu kumelendang dialam dunya dianggap memiliki jiwa.

Tertib dan krama hidup misalnya berhubungan dengan padi (beras). Ada jangjawokan yang digunakan sejak menanam bibit, ngaseuk, tandur, panen, nyiuk beas, nyangu, mawa beas ticai, ngisikan, seperti salah satu contoh dibawah ini :

* Jampe Nyimpen Beas

* Mangga Nyi Pohaci
* Nyimas Alame Nyimas Mulang
* Geura ngalih ka gedong manik ratna inten
* Abdi ngiringan
* Ashadu sahadat panata, panetep gama
* Iku kang jumeneng lohelapi
* Kang ana teleking ati
* Kang ana lojering Allah
* Kang ana madep maring Allah
* Iku wuju salamaet ing dunya
* Salamet ing akherat
* Asahadu anla ila haileloh
* Wa ashadu anna Muhammaddarrasolullah
* Abdi seja babakti kanu sakti, agung tapa
* Nyanggakeun sangu putih sapulukan
* Kukus kuning purba herang
* Tuduh kang seseda tuhu
* Datang ka sang seda herang
* Tepi ka kang seda sakti
* Nu sakti neda kasakten
* Neda deugdeugan tanjeuran

Contoh lainnya,

* Jampe Ngisikan (mencuci beras) :

* Mangga Nyimas Alene Nyimas Maulene
* Geura siram dibanyu mu’min
* Di Talaga Kalkaosar
* Abdi ngiringan
* Nyi Pohaci Budugul Wulung
* Ulang jail babawaan kaula
* Heug
*
* Nyi Pohaci Barengan Jati
* Ulah jail kaniaya
* Ka Nyi Pohaci Sukma Jati
* heug
*

Inilah contoh tertib hidup masyarakat agraris yang menciptakan harmonisasi adapt dengan alam.

Para Sastrawan Sunda pada umumnya, seperti Wahyu Wibisana, Rus Rusyana, Ajip Rosidi menggolongkan Jangjawokan sebagai bentuk puisi sunda. Yus Rusyana menuangkannya dalam buku Bagbagan Puisi Mantra Sunda (1970), sedangkan Ajip Rosidi dalam Jangjawokan (1970). Tentunya lepas dari benar atau salah tentang pemahaman masing-masing terhadap jangjawokan, namun dengan cara katagorisasi menjadi cabang dari puisi, paling tidak dapat terkabarkan kegenarasi berikutnya, bahwa di tatar ini pernah ada bagian dari budaya Sunda yang disebut Jangjawokan.

Menurut Wahyu Wibisana : jangjawokan sejalan dengan maksud puisi magis yang dikemukakan Yus Rusyana dan pendapat Rachmat Subagya pada Agama Asli Indonesia. Dengan mantra orang berangsur-angsur memulangkan kuasa-kuasa imajiner yang dianggap melanggar atas wewenangnya yang imajiner kepada tempat asal wajar mereka yang imajiner juga.


Pengertian imajiner berpusat pada pemikiran yang berhubungan dengan makhluk gaib yang dianggap mempunyai kekuasaan dan kewenangan dan berada di tempat tertentu. Dengan demikian, hal ini ada pada tataran keyakinan dan kepercayaan bahwa dengan cara tertentu, kekuasaan dan kewenangan makhluk gaib itu dapat dimanfaatkan manusia untuk tujuan-tujuan yang dikehendakinya. Cara itulah dengan menggunakan mantra serta segala ketentuannya.


Mengapa Istilah Jangjawokan ?
Wahyu Wibisana dalam SASTRA LAGU : Mencari Hubungan Larik dan Lirik menjelaskan :


Dua buah bentuk puisi sunda yang dapat dikatakan bersifat arkais ialah ajimantra dan bentuk puisi pada cerita pantun. Istilah ajimantra diambil dari naskah kuno Siksa Kandang Karesyan. Sedangkan puisi pada pantuan ada tahun 1518, sama artinya dengan istilah mantra sekarang. Sedangkan puisi pada cerita pantun ada dua yakni rajah dan nataan”.


Jangjawokan suatu arti kata lain dari ajimantra. Istilah ajimantra digunakan dalam Naskah Siksa Kanda Ng Karesyan, ditulis pada tahun 1518 M. Tapi istilah Jangjawokan tidak diketahui sejak kapan. Namun Urang Sunda Tradisional lebih banyak menggunakan istilah Jangjawokan atau ajian ketimbang ajimantra. Mungkin kedua sebutan yang memiliki kesaman makna ini menandakan adanya adaptasi pemahaman, menganggap Jangjawokan (Sunda Buhun) eufimisme dari ajimantra (Sanksekerta).


Ajip Rosidi dalam buku Jangjawokan lebih menekankan pada istilah ini ketimbang mengguna kan kalimat ajimantra, dengan alasan : Istilah ajimantra berasal dari India dan dalam bahasa Sunda tidak pernah digunakan. Dilihat dari segi isinya, Jangjawokan itu berupa permintaan atau perintah agar keinginan sipengguna jangjawokan dilaksanakan oleh nu gaib “makhluk gaib”.

Tapi tanpa mengoreksi paradigma diatas, timbul pertanyaan, apakah benar Jangjawokan itu ajimantra yang dimintakan kepada Makhluk Gaib ?.


Adaptasi bahasa atau keyakinan ?
Sebenarnya untuk mentraslate makna tujuan permohonan dari pelaku jangjawokan mungkin dapat juga ditelusuri melalui penelusuran pemahaman tentang Hyang Tunggal ; Hyang Keresa atau Ketuhanan Yang Maha Esa serta sejarah diri dalam Paradigma Sunda. Karena pemahaman istilah nu gaib tidak selamanya berkonotasi pada makhluk gaib, seperti jin atau makhluk halus, akan tetapi ada juga semacam cara membangkitkan spiritulitas dalam dirinya, seperti paradigma tentang raga ; bathin dan kuring.


Negasi terhadap paradigma diatas dapat dicontohkan, sebagai berikut :.


Ka Indung nu ngandung
Ka Rama nu ngayuga
Ka Indung nu teu ngandung
Ka Rama nu ngayuga
Kadulur opat kalima pancer


Pangnepikeun ieu hate
Ka Indungna anu nagnadung
Ka Ramana anu ngayuga
Ka Indungna nu teu ngandung
Ka Ramana nu ngayuga
Kadulur opat kalima pancer
Kalawan kanu ngurus jeung ngaluis si …. (anu) ……
Dst … dst …….


Saya tidak melihat adanya eksistensi nu gaib dari luar dirinya. Dalam kasus lain, bisa jadi ditujukan untuk memperkuat bathinnya, atau semacam ada perintah ingsun kepada bathinnya untuk berkomunikasi dengan ingsun orang lain.


Jika saja yang dimaksud dalam kandungan jangjawokan sama dengan yang dimaksud dalam Pantun Sunda, mengingat keduanya juga dikatarogikan sebagai puisi arkais, hemat saya dapat pula diperbandingkan dengan referensi dari Buku Jakob Sumardjo tentang ‘Khasanah Pantun Sunda’, terutama tentang ‘arkeologi pemkiran’ Urang Sunda Buhun terhadap ‘Trias Politik Sunda’. Tanpa pemahaman yang jelas niscaya “Urang Sunda” akan kehilangan sejarah pemikirannya yang hakiki.


Signal dari paradigma dan muara pernmohonan bisa pula dikaitkan dengan strata pengabdian dalam hirarki pemerintahannya. Misalnya Wado tunduk kepada Mantri ; Mantri tunduk kepada nangganan ; nangganan tunduk kepada mangkubumi ; mangkubumi, tunduk kepada ratu ; ratu tunduk kepada dewata ; dewata tunduk kepada Hyang. Dengan demikian Hyang lah yang tertinggi.


Menurut Edi S Ekajati, dalam Kebudayaan Sunda – Agama dan kepercayaan :
Kekuasaan tertinggi berada pada Sahyang Keresa (Yang Mahakuasa) atau Nu Ngersakeun (Yang Menghendaki). Dia disebut Batara Tunggal (Tuhan Yang Maha Esa), Batara Jagat (Penguasda Alam), dan Batara Seda Niskala (Yang Gaib). Jadi dalam pemahaman saya, yang membedakan masalah Keesaan Tuhan dalam Paradigma Urang Sunda Wiwitan dengan yang berikutnya terletak pada Syariatnya. Hal ini wajar, mengingat masing-masing ageman memiliki sejarah dan perkembangannya sendiri.


Dalam tradisi Jangjawokan selanjutnya ditemukan ada sebutan Allah kepada yang dimohonkan. Urang sunda biasanya membaca dengan Alloh. Konsonan “O” nya mani lekoh - khas. Bahkan ada jangjawokan dari Urang Baduy yang menggunakan istilah yang digunakan para pemeluk agama islam, seperti dibawah ini.


Sawer Panganten :
Bismillahirohmanirohim.
Panggpunten kasadaya,
Kau nu tua ka nu anom,
Sumawon kanu sepuh mah,
Kaula bade nyembahkeun,
Nyi panganten sareng ki panganten.
Atau dalam Sadat Islam :
Sadat Islam aya dua,
Ngislamkeun badan kalawan nyawa,
Dat hirup tangkal iman,
Ngimankeun badan sakujur,
Hudang subuh banyu wulu,
Parentah Kangjeng Gusti,
Nabi Adam pangyampurnakeun badan awaking,
Sir suci,
Sir adam,
Sir Muhammad,
Muhammad Jaka lalana,
Nu aya di saluhuring alam.


Istilah dalam jangjawokan yang banyak disebut-sebut urang sunda Buhun, seperti Allah – Adam dan Muhammad tentunya tidak bisa dilepaskan dari paradigma tentang Dzat – Sifat – dan Manusia itu sendiri. Mungkin juga menandakan adanya unsur kesatuan yang hakiki antara raga, bathin dan kuring-na manusa. Memang menjadi sulit bagi saya membedakan jika masih ada istilah : Jangjawokan itu suatu permohonan (hanya) kepada Makhluk Gaib, bukan kepada Yang Maha Gaib. Tapi syah-syah saja jika digunakan dalam rangka katagorisasi puisi arkais.


Contoh lainnya do’a untuk belajar, atau agar dicerahkan pikiran. Contoh ini saya dapatkan dari Almarhum Bapak Nunung Setiya, demikian :


Allahuma hujud bungbang
Nu hurung dina jajantung
Nu ruhay dina kalilipa
Remet meteng dina angen
Bray padang ….. Alllah.
Pangmukakeun kareremet nu aya didiri kula
Bray padang,
Brya caang,
Caangna salalawasna
Lawasna Saumur kula.


Setelah Bapak Nunung meninggal kemudian saya coba telusuri dari mana asal jangjawokan itu, dan bagaimana pula bahasa aslinya. Pada akhirnya saya menemukan dari salah satu sumber, konon dahulunya berisi, demikian :

Hujud bungbang
Nu hurung dina jajantung
Nu ruhay dina kalilipa
Remet meteng dina angen
Bray padang,
Pangmukakeun kareremet nu aya didiri kula
Bray padang,
Brya caang,
Caangna salalawasna
Lawasna Saumur kula.


Jika saja yang kedua diatas diyakini bersumber dari jangjawokan yang pertama dan tidak ditemukan kalimat Tauhid, namun dalam bentuk dibawah pun tidak ditemukan adanya unsur yang memintakan kepada makhluk gaib dalam arti diluar (kekuatan) dirinya. Kecuali jika indung mu ngandung dan nu teu ngandung ; bapak nu nungayuga kalawan nu teu ngayuga ; dulur opat kalima pancer dianggap makhluk gaib ?.


Saya justru menafsirkan, dengan dicantumkannya kalimat Tauhid didalam jangjawokan tersebut, justru dikembangkan oleh urang sunda berikutnya, bertujuan memintakan legitimasi dan ijin dari yang Maha Gaib. Setidak-tidaknya bertujuan untuk mengurangi tudingan menduakan Tuhan. Tapi ada benarnya jika urang tua dulu berujar “antara Gusti jeung makhlukna euweuh watesna, leuwih deukeut jeung naon wae, malah masih jauh antara hate jeung urat beuheung”.


Ciri-ciri Jangjawokan
Jangjawokan didalam koridor satra puisi arkais didefinisikan, sebagai : permintaan atau perintah agar keinginan (orang yang menggunakan jangjawokan) dilaksanakan oleh nu gaib “makhluk gaib” sebatas ini mudah dipahami, yakni para pengguna jangjawokan menggunakan makhluk gaib untuk mencapai keinginannya. Namun tidak dapat dipungkiri jika ditemukan pula jangjawokan yang menggunakan bacaan sebagaimana lajimnya digunakan oleh urang sunda yang beragama islam (lihat Sadat Buhun), dikatagorikan do’a, bukan jangjawokan. Namun apakah tidak ada jangjawokan bukan do’a ?.


Pemilahan jangjawokan dengan do’a dimungkinkan terjadi jika jangjawokan dikatagorikan sebagai bagian dari puisi sunda (arkais), serta dibahas dalam kacamata sastra. Indikator jangjawokan ditentukan berdasarkan kacamata sastra. Namun boleh saja jika jangjawokan dilihat dari kacamata lainnya. Karena ketika seseorang mengucapkan jangjawokan tentu tujuannya bukan untuk membaca puisi.


Jangjawokan diyakini memiliki kekuatan magis. Kemungkinan kekuatan dari kandungan magis yang dirasakan nyaman menyebabkan jangjawokan ditularkan secara turun temurun. Jangjawokan tidak mungkin bisa bertahan dan terkabarkan hingga sekarang jika tidak dirasakan manfaatnya dan diyakini kekuatannya. Yang jelas ada harmoni manusia dengan alamnya ketika jangjawokan itu dibacakan.


Peran jangjawokan bisa diasumsikan keberadaanya sebelum kemudian diserahkan kepada para penyembuh modern, seperti dokter ; psikolog ; atau profesi apapun yang terkait dengan masalah penyembuhan fisik dan psikis. Jangjawokan digunakan pula dalam keseharian, sebagai bagian dari tertib hidup, seperti pada kegiatan sebelum buang air dan kegiatan lainnya.


Jangjawokan dalam jenis ini bisa ditemukan dalam Jampe Kahampangan (Jampi hendak buang air kecil) ; Jampe Kabeuratan (hendak buang air besar) ; Jampe Neda (Jampi sebelum makan) ; Jampe Masamon (Jampi bertamu) dll. Konon kabar, kekuatan dari magisnya terletak pada kebersihan hati si pelafalnya dan kesungguhan bagi para penggunannya. Namun saya tidak bisa terlalu jauh masuk untuk mengetahui pengaruhnya, biarlah ini merupakan bagian dari bidang l.ainnya.


Wahyu Wibisana, mengkatagorikan: ”ajimantra (baca : Jangjawokan) merupakan sastra arkais yang pernah muncul kemudian setelah sastra sunda kuno. Dikatakan ’pernah digunakan’ dan ’pernah muncul’, karena memang saat ini kebanyakan orang sunda sudah tidak menggunakan dan sekaligus tidak mempercayai ajimantra. Hanya saja, sebagai karya sastra (yang umumnya berbentuk lisan) tetap merupakan genre tersendiri dalam sastra Sunda seperti juga pada sastra daerah lainnya di Nusantara.”.


Dari pernyataan diatas, saya yakin Kang Wahyu masih menganggap bahwa masih ada masyarakat Sunda yang menggunakan jangjawokan. Kitapun lantas tidak bisa menafsirkan masyarakat pengguna jangjawokan sebagai masyarakat ketinggalan jaman, karena realitasnya masih nyaman untuk digunakan. Dengan dimasukannya ajimantra sebagai bagian dari puisi maka masih bisa ditelusuri dan terkabarkan beritanya kepada generasi berikutnya. Setidak-tidaknya katagorisasi ini dapat menyelamatkan jangjawokan sebagai asset budaya bangsa, sekalipun hanya dinikmati sebagai karya seni, tidak pada unsur magisnya.


Ciri-ciri Jangjawokan.
Jangjawokan menurut Wahyu Wibisana memiliki ciri-ciri, yakni :

1. menyebutkan nama kuasa imajiner, seperti : Pohaci Sanghiyang Asri, Batara, Batari dll.
2.

dalam kalimat atau frase yang menyatakan si pengucap janjawokan berada pada posisi yang lebih kuat, otomatis berhadapan dengan pihak yang lemah.
3.

berhubungan dengan konsvensi puisi, merupakan kelanjutan dari gaya Sastra Sunda Buhun dan cerita Pantun, yakni adanya desakan atau perintah, disamping himbauan, tegasnya bersifat imperative dan persuasif.
4.

masih berhubungan dengan konvensi puisi, adanya rima-rima dalam jangjawokan. Rima-rima dimaksud memiliki fungsi estetis ; membangun irama ; fungsi magis ; fungsi membuat ingatan orang yang mengucapkan.
5.

adanya lintas kode bahasa pada ajimantra yang hidup di Priangan dan Baduy. Bahasa jangjawokan tersebut diserap seutuhnya atau disesuaikan dengan lidah pengucapnya.
6.

terkesan sebagai sastra arkais yang pernah muncul kemudian setelah sastra sunda.

Ciri-ciri diatas tentunya dilihat dari katagori Jangjawokan sebagai bagian dari puisi arkais sunda. Jadi wajar jika ada tekanan tujuan dari materi jangjawokan ; gaya sastra dan gaya bahasa ; rima-rima ; dan kelahirannya paska sastra sunda.


Penyebutan Kuasa Imajiner
Pengertian imajiner berpusat pada pemikiran yang berhubungan dengan makhluk gaib yang dianggap mempunyai kekuasaan dan kewenangan dan berada di tempat tertentu. Pada tataran keyakinan dan kepercayaan bahwa dengan cara tertentu, kekuasaan dan kewenangan makhluk gaib itu dapat dimanfaatkan manusia untuk tujuan-tujuan yang dikehendakinya, sebagaimana dalam Jangjawokan.


Nama-nama kuasa imajiner yang dimaksudkan tentunya sangat terkait dengan istilah-istilah yang digunakan urang Sunda Buhun. Seperti Pohaci Sanghyang Asri ; Batara dan Batari ; Sri Tunggal Sampurna ; Malaikat Incer Putih ; Raden Angga Keling ; Ratu Teluh ti Galunggung ; Sang Ratu Babut Buana. Penyebutan kuasa imajiner tersebut, seperti contoh dibawah ini :


Jampe Masamoan
Nu ngariung jiga lutung
Nu ngarendeng jiga monyet
Nya aing mandahna !
Maung pundung datang turu
Badak galak datang depa
Galudra di tengah imah
Kakeureut kasieup ku pohaci awaking.


Jampe masamoan diatas bertujuan agar memiliki kekuatan yang tersinari pohaci yang ada didalam dirinya. Bahkan ada semacam perintah bathin kepada siapapun yang ada ditempat pasamoan tersebut untuk tunduk dan menerima kehadirannya. Mungkin juga dapat ditafsirkan adanya perintah bathin orang yang hendak bertamu kepada bathin pihak”nu dipasamoan’.


Contoh perintah bathin ini dapat dilihat dari asihan asihan seperti dibawah ini, sebagai berikut :



Ka Indung anu ngandung
Ka Rama anu ngayuga
Ka Indung nu teu ngandung
Ka Rama anu teu ngayuga
kadulur opat kalima pancer
Pang nepikeun ieu hate
Ka Indung na anu ngandung
Ka Rama na anu ngayuga
Ka Indung na nu teu ngandung
Ka Rama na anu teu ngayuga
Kadulur na opat kalima pancer
Kalawan kanu ngurus ngaluis hirup jeung huripna... (sianu) .......
Pamugi sing ..........


Jangjawokan diatas terasakan adanya perintah bathin (rasa) dari pembaca jangjawokan kepada bathin (rasa) orang yang dituju untuk melaksanakan apa yang dikehendakinya. Perintah dan urusan koridor bathin ini sangat nampak ketika pemohon memerintahkan bathinnya untuk menyampaikan kepada bathin tujuannya. Seperti ada eksistensi indung dan bapak anu ngandung kalawan nu teu ngandung. Kemudian disebut pula eksistensi dari saudara yang empat dan pancernya.


Dalam konteks yang sama ditemukan pula istilah-istilah spiritual yang lajim digunakan orang sunda penganut agama islam. Sehingga kuasa imajiner jika ditafsirkan sebagai sesuatu yang gaib atau makhluk terasa menjadi rancu jika kita membaca jangjawokan seperti dibawah ini.


Jampe Unggah
Ashadu sahadat bumi
Ma ayu malebetan
Bumi rangsak tanpa werat
Lan tatapakan ing Muhammad
Birahmatika ya arohmana rohomin


Jampe Turun
Allohuma ibu bumi
Medal tapak tatapakan
Turun wawayanging ing Muhamad
Birahmatika ya arohma rohimin.


Jika saja ditelaah lebih lanjut dari kedua jangjawokan terakhir, saya sendiri menjadi maklum, bahwa permohonan bathin kepada sesuatu ”Yang Gaib” dimintakan ijin terlebih dahulu kepada ”Yang Maha Gaib”, atau dapat juga disimpulkan bahwa atas kehendak yang Maha Gaib maka Yang Gaib itu bisa diperintahkan.


Istilah ”Nu Gaib” disini tentunya menimbulkan pertanyaan, Nu Gaib anu mana ?. Mungkin alangkah lebih bijaknya jika mendefinisikan jangjawokan dengan cara menggunakan paradigma dari para penggunanya, yakni masyarakat Sunda Buhun. Dalam paradigma masyarakat Sunda Buhun, terutama ketika mengkaji dan menemukan sejarah diri akan terungkap ada tiga unsur yang menyebabkan manusa hirup jeung hurip, yakni unsur lahir (raga) ; bathin (hidup) dan kuring (aku). Kuring atau aku bertindak sebagai driver bagi lahir dan bathin, bagi raga jeung hirupna. Aku pula yang memanaje raga dan bathin.


Dari paradigma tersebut tentunya dapat disimpulkan, bahwa nu gaib itu bukan sesosok makhluk yang ada diluar dirinya, melainkan nu ngancik dina dirina.


Pemberi perintah
Dalam jangjawokan, si pengguna bertindak sebagai pemberi perintah bathin, paling tidak sebagai pihak yang ‘menginginkan’ sesuatu. Oleh para sastrawan diposisikan sebagai pihak yang lebih kuat terhadap penerima perintah. Misalnya :


Nu ngariung jiga lutung
Nu ngarendeng jiga monyet
Nya aing mandahna
…………..
kakeureut ka sieup ku pohaci awaking


Atau :


Curuk aing curuk angkuh
Bisa ngangkuh putra ratu
……
mangka reret soreang
soreang ka badan awaking


Sipemberi perintah hemat saya tidak selamanya memposisikan diri sebagai pihak yang lebih kuat, karena ada juga kecenderungan kalimat yang dapat ditafsirkan sebagai permohonan atau himbauan, bukan perintah. Jika perhadapkan dengan yang kuat dan yang lemah, maka sangat tepat jika ia sebagai pihak yang lebih rendah dan sedang menginginkan sesuatu.


Tipe jangjawokan semacam diatas, seperti dibawah ini :


Jampe nyimpen Beas
Mangga Nyi Pohaci
Nyimas Alane Nyimas Mulane
Geura ngalih ka gedong manik ratna inten
Abdi ngiringan …………….

Dari kalimat tersebut lebih jauh dari unsure memerintah. Sekalipun menaruh harapan besar untuk melakukan. Namun lebih tepay jika dikatagorikan membujuk untuk melakukan. Contoh lainnya, seperti dalam Jampe ngisikan : Mangga Nyimas Alene Nyimas Mulane - Geura siram dibanyu mu’min - Di Talaga Kalkaosar - Abdi ngiringan ……dst”.


Saya menemukan beberapa kasus. Untuk jenis jangjawokan tertentu, seperti pangabaran atau asihan, penyatuan bathin dan kandungan jangjawokan dilakukan melalui proses ‘kuru cileuh kentel peujit’. Mungkin ini untuk menumbuhkan kesungguhan dan keteguhan hati serta keyakinan agar tujuan tersebut bisa dicapai. Dalam temuan saya (mungkin suatu kebetulan), dilakukan pula oleh masyarakat yang bukan penganut ajaran Sunda Buhun.


Cara-cara dan budaya demikian bukan hanya dilakukan oleh ‘urang sunda buhun’ bahkan sampai sekarang masih ada yang melakukannya. Misalnya melakukan dengan cara berpuasa dalam jumlah hari tertentu ; melakukan wirid ; atau melakukan shalat malam. Sedangkan ukuran keberhasilannya tidak sama dengan peta pengalaman seperti makan rawit, langsung terasa pedasnya, atau bisa dinikmati.


Penekanan perintah
Dalam jangjawokan sering ditemukan pengulangan perintah atau semacam ‘penegasan perintah untuk dilaksanakan’. Perintah ini bersifat imperatif atau persuasif, misalnya :


Bray padang, Bray caang
Caangna salalawasna,
lawasna Saumur kula
……………………………
mangka langgeng mangka tetep
mangka hurip kajayaan


Kalimat ini tentunya bukan sekedar penegasan, namun dapat juga diartikan sebagai kesungguhan untuk mencapai apa yang dikehendakinya.


Penutup
Sebenarnya sangat sulit mendifinisikan jangjawokan, kecuali dari kandungan keinginan yang termaktub didalam jangjawokan itu sendiri. Jika dinyatakan meminta kepada makhluk gaib, namun yang ditemukan adalah upaya menguatkan bathin, bahkan ada negasi tentang eksistensi Tuhan. Kemudian, jika saja dinyatakan sebagai perintah, itupun sulit diderfinisikan, mengingat ada pula jangjawokan yang isinya memohon atau menghimbau.

Jangjawokan adalah hasil cipta, karsa dan rasa manusia Sunda. Memiliki akar kesejarahan yang mandiri. Sejalan dengan perkembangan dan sejarah pemahaman tentang keyakinan dan sejarah diri, bahkan pernah dirasakan manfaatnya. Jangjawokan bukan sekedar puisi yang dapat dinikmati kata-katanya, namun sebagai sesuatu yang diyakini memiliki kekuatan. Biarlah jangjawokan ‘diampihan’ sebagai puisi, agar tidak hilang dan dapat terkabarkan dikemudian hari.

Mun seug tea mah aya nu nyungsi rusiah jangjawokan, dipaluruh nepi ka wates wangenna. Tinangtu bakal panggih jeung sajatining hirup jeung huripna. Nu gaib lain makhluk nu misah tina ingsunna. Nu ngulon, ngaler, ngetan jeung ngidul, lain nu nyengkal tina pancerna. Sakabehna aya na hate jeung rasana, aya dina uteuk jeung pikiranana. Ibarat gula jeung amisna, uyah jeung asinna, ngajirim ngajadi hiji, kalawan tinekenan bakal kabuka rusiah, saha ari urang ? timana ari urang ? jeung rek kamana ari urang ?. Sabab mun manusa geus wawuh jeung dirina tinangtu bakal wawuh ka Gusti na.(Cag).


Bahan Bacaan :

1. - Sastra Lagu – Mencari Hubungan Larak dan Lirik, Wahyu Wibisana dalam, Buku Lima Abad Sastra Sunda, Geger Sunten – Juni 2000
2. - Kebudayaan Sunda, Edi S. Ekadjati, Pustaka Jaya – 1995
3. - Prabu Siliwangi, Moh. Amir Sutaarga – 1966.
4. - Keterangan almarhum Bapak Nunung Setiya – Ciwidey Bandung.